Rabu, 21 Desember 2011

FENOMENA KONTEMPORER - dunia baru dalam dimensi baru ......

Zaman terus “berubah”, begitulah kiranya jika tak mau dikatakan “berkembang”. Pada esensinya kedua hal tersebut tak jauh berbeda, hanya saja bagi sebagian kaum konservatif, kata “berkembang” seakan-akan menggambarkan sebuah perjalanan waktu—periodisasi, yang mana menganggap “yang lalu adalah ketinggalan jaman sedangkan yang sekarang jauh lebih baik”. Memang opini tersebut—kaum konservatif—bukanlah suatu hal yang salah, memang benar adanya bahwa suatu perubahan jaman yang kian “maju” pesat, namun tanpa disertai dengan penanaman etika serta moral yang benar, sama saja merupakan penurunan (degradasi) besar-besaran.

                                                         Tak pelak hal itu justru menggambarkan sebuah “kemrosotan”, tentu bukan lagi menjadi sebuah perkembangan. Namun opini tersebut—sekali lagi, bagi kaum konservatif—harus kita pilah lebih cermat lagi pengunaannya, apa yang dimaksudkan disini ialah keharusan untuk lebih membuka diri terhadap setiap hal yang pasti berubah tiap waktunya—bahkan untuk jaman sekarang periodisasi perubahan jaman dapat terjadi hanya dalam hitungan hari, atau bahkan dalam hitungan jam. Di era yang serba modern seperti saat ini, dimana komunikasi antar benua hanya perlu diakses dalam hitungan detik (ex: internet), segalanya bisa saja terjadi. Seperti halnya musik, pada kurun tahun tak lebih dari seratus tahun yang lalu alat perekam masih baru saja ditemukan, tak semua orang bisa menikmatinya, konsumsi musik merupakan barang yang mahal—terlebih di Indonesia, namun di jaman sekarang untuk mencari sebuah musik/lagu cukup dengan “klik” maka muncullah apa yang kita inginkan.

                  Musik tak lagi menjadi barang mewah, kini apapun bisa kita dapatkan dengan mesin-mesin pencari yang ada di media-media online, baik itu komputer maupun handphone yang notabenenya lebih efisien serta bisa dibawa kemana-kemana, belum lagi dengan munculnya produk-produk “hi tech” lainnya, layaknya Blackberry, Apple, dan lain sebagainya, apapun musik yang ingin kita dengarkan mampu didapatkan dalam sekejap mata. Disinilah pergeseran terjadi, tak hanya soal makna, masyarakat musik (pelaku maupun penikmat musik)-nya pun telah mengalami pergeseran bentuk. Dulu sebuah musik dikenal atau diakui dalam suatu masyarakat karena perjalanan yang panjang dari panggung ke panggung, begitu pula yang terjadi dalam musik tradisi rakyat, bahkan musik keraton/kerajaan sekalipun tentu saja memiliki kisah sejarah yang sangat panjang di dalam proses perjalanannya, dari awal perkembangannya hingga memiliki suatu masyarakat “absolut”. Sangat berbeda keadaannya dengan apa yang terjadi di jaman sekarang, tanpa pernah mengadakan suatu pertunjukan live sekalipun, sebuah group musik bisa melejitkan namanya diseantero dunia.

Untuk mendalami permasalahan tersebut, sebagai suatu kajian dapat kita lihat dalam “Orkes Puisi Sampak Gusuran”.

Sekilas tentang Orkes Puisi Sampak Gusuran, merupakan sebuah komunitas/kelompok kesenian yang menyuguhkan pertunjukan berupa perpaduan antara alunan musik tradisi, iringan serta aransemen dengan menggunakan combo, serta syair/puisi. Dalam karya-karyanya, kelompok kesenian tersebut menyajikan kritik-kritik terhadap Negara, pemerintahan, atau apapun permasalahan yang menimpa negeri Indonesia ini dalam garapan lagu-lagu serta balutan sastra. Perpaduan antar ketiga unsur—combo, musik tradisi, dan syair/puisi—tersebut serta ditambahkan dengan alat-alat musik etnik Indonesia yang sudah dimodifikasi, menjadikan kelompok Orkes Puisi Sampak Gusuran memiliki karakter tersendiri. Keunikan tersebut menjadikan sebuah nilai tambah yang mampu mengangkat nama Orkes Puisi Sampak Gusuran (atau untuk ringkasnya kita sebut saja dengan OPSG) mendapatkan peringkat 40 bahkan 20 besar karya kotemporer terbaik di dunia. 

lihat:

            Melejitnya nama OPSG di kancah perhelatan musik dunia menyebabkan timbulnya masyarakat penggemarnya pun semakin bertambah deras. Tak kurang dari seribu orang telah menjadi penggemar OPSG, tentu saja sebagian besar diantaranya sudah pernah “mengunduh” langsung karya-karya OPSG melalui media online (internet). Perlu diketahui sebelumnya, sebagian besar dari sekian banyak penggemar OPSG justru TIDAK PERNAH bertemu/ataupun melihat langsung, atau bahkan mengetahui siapa para pelaku—seniman-seniman OPSG itu sendiri. Kasus yang terjadi dalam permasalahan kali ini bukanlah hal yang wajar terjadi bila kita hidup di era – paling tidak 10 tahun yang lalu sampai seterusnya, bahkan masih jarang terjadi di era sekarang ini. Tidak sama bila dibandingkan dengan band-band populer yang muncul di media-media massa, semisal Televisi. Suatu contoh, seburuk-buruknya fans band populer Peter Pan paling tidak mereka pernah melihat sosok Ariel (mantan Vokalis Peter Pan), atau Andika (keyboardis), meski hanya melalui layar Televisi. Sedangkan untuk kasus OPSG, belum tentu para penikmat musik OPSG pernah melihat wajah personilnya meski hanya lewat foto. Penggemar ataupun penikmat OPSG rata-rata mulai mendengarkan serta menyukai karya OPSG hanya melalui jejaring sosial semacam FaceBook, atau hanya melalui komunitas musik yang banyak tersebar di jejaring internet.


sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*