Selasa, 15 Januari 2013

My Crossroad



http://www.solopos.com/2013/01/13/reportoar-crossroad-kawinkan-musik-modern-dan-etnik-367877



JOGJA—Delapan pemuda bertelanjang dada mengenakan bawahan jarik motif jawa memainkan sebuah alunan musik blues. Uniknya, di layar belakang mereka tampak bayangan hitam seorang dalang yang tengah memainkan wayang kulit. Seperti seolah menyatu gerakan wayang kulit tersebut bergerak kesana kemari mengikuti alunan musik blues. Tidak hanya wayang kulit saja, dalam pertunjukkan berdurasi selama 20 menit itu, para pemain juga memasukkan adat dari luar Jawa seperti tarian Dayak, Kalimantan.

Pemandangan tersebut terlihat saat Brian Trinandi K. Adi, bersama sejumlah rekan rekannya, menyuguhkan sebuah reportoar berjudul Crossroad dalam sebuah konser bertajuk 14 Pertunjukkan Etnis di XT Square, Jalan Veteran, Umbulaharjo, Sabtu (12/1/2013) malam. Adapun reportoar crossrad merupakan reportoar pembuka diantara 14 reportoar milik 14 penampil yang disuguhkan dalam konser tersebut.

Kendati mengusung musik blues yang kental dengan beberapa instrument modern seperti gitar dan bas elektrik namun reportoar Crossroad  juga menyajikan  unsur etnik.Pasalnya instrument tersebut dipadukan dengan instrument etnik seperti rebab, saron, dan gong bumbung. Brian Trinandi K. Adi menuturkan Crossroad  berisikan kegelisahan dia sebagai  warga negara Indonesia.

“Crossroad merupakan implementasi dasar dari konserp dasar Cross-culture yang mana hal ini sangat terkait erat dengan pentingnya akan pengetahuan lintas  budaya,” kata dia seusai memainkan reportoar itu. Maka dari itu, Brian sengaja untuk memadukan musik modern dengan alat musik etnik yang berasal dari Indonesia seperti kemajemukan suku, budadaya dan adat istiadat yang terjadi.
“Banyaknya pertemuan dari orang berbagai macam suku, adat istiadat merupakan salah satu inspirasi dalam menghadirkan karya ini,” ungkapnya.

Ketua panitia konser, Basundra Murba Anggana menuturkan seperti yang dilakukan Brian Trinandi, dalam konser seluruh peserta menyuguhkan musik etnik yang begitu kental seperti dari Kalimantan, Jawa, Makassar dan Sunda. Uniknya para peserta tersebut juga menyampurkan musik tersebut dengan musi barat seperti jazz, metal, blues dan rock.

“Harapannya ini bisa memancing penonton atau musisi lainnya agar mereka tidak melupakan musik tradisi yang notabene asli dari Indonesia,” imbuh dia kepada Harian Jogja.
Basundra menjelaskan, hal ini perlu dilakukan karena musisi muda saat ini banyak yang telah melupakan musik tradisi.

“Mereka [para musisi] saat ini mayoritas cenderung kebarat baratan. Padahal di Indonesia ini baik alat musik maupun musik tradisinya sangat beragam sekali,” ujarnya. Dengan demikian, dari konser itu diharapkan bisa menggugah semangat para musisi utamanya kawula muda untuk tidak malu mengusung musik tradisi dalam setiap lagu yang dibuat. “Musik tradisi pun kalau kita bisa mengemasnya dengan baik akan menjadi sebuah karya yang menarik dan enak untuk didengarkan,” ucap dia.

Sebanyak 14 peserta yang tampil dalam konser tersebut merupakan mahasiswa dan Sarjana lulusan dari Fakultas Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja. Basundra mengatakan konser merupakan kali pertama yang dilakukan oleh Galau Production selaku penyelenggara. Galau production merupakan kumpulan mahasiswa dari ISI Jogja  dan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang merasa gelisah atas ekstensi musik tradisi di Indonesia.
 

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*