Sebuah Catatan
tentang kita….. BEMI (BEM ISI Yogyakarta) Periode 2011-2013
“Kita memang terlahir prematur,
kita terlalu cepat dilahirkan, tapi kita selalu berusaha untuk terus bertahan,
meski dengan merangkak, tertatih-tatih, hingga kita mulai lancar untuk
berjalan, berhadapan dengan kerikil-kerikil, terkadang badai yang besar
menghampiri, tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti. Kini kita telah
dewasa, membuktikan apa yang semestinya kita perbuat, memperoleh prestasi,
melahirkan generasi baru, berharap untuk menumbuhkan semangat baru, membangun
jembatan untuk secercah harapan masa depan yang lebih baik dari sekarang untuk
keluarga kita tercinta, ISI Yogyakarta.”
Sekian
lama ISI YK kehilangan satuan kelembagaan mahasiswa tingkat Institut. Kurang
lebih 8 tahun (1 windu) lamanya, bukanlah waktu yang pendek, ISI YK dilanda
masa kritis kepemimpinan, di mana mahasiswa sebagai elemen aktif civitas
akademika tidak mampu untuk menyampaikan suaranya di tingkat tertinggi
institusi, sebagian kelompok mahasiswa terkooptasi di dalam lingkaran-lingkaran
individualisme, di mana kesadaran untuk bersinergi hanya bertahan dalam
ruang-ruang kelompoknya masing-masing yang sporadis, atau bahkan lebih gawatnya
lagi justru tidak ada interaksi sama sekali di dalam ruang-ruang kecil itu. Ini
ironis!!! Melahirkan suasana elitis yang nggak elit sama sekali, kenapa? Karena
kita hanya akan menjadi katak dalam tempurung, yang begitu kepayahan meski hanya
untuk sekedar mengintip sela-sela aktivitas di luar sangkar yang mengungkung. Kaca
mata kuda.
Mengulik
sejarah yang menjadikan alasan tumbangnya kelembagaan mahasiswa—yang seharusnya
mampu mewadahi dan menambal lubang jalan pemisah tersebut, hingga begitu
lamanya, masih menjadi tanda tanya yang cukup besar. Begitu banyak persepsi dalam tiap-tiap permasalahan yang
melatarbelakanginya. Nampaknya, bukan kapasitas saya untuk membongkarnya satu
demi satu pada kesempatan kali ini. (Butuh bab khusus dengan penelitian panjang
yang komprehensif…hahah). Yang penting sekarang kita dapat evaluasi bersama
situasi seperti ini, so, pentng ga sie adanya kelembagaan tingkat institut?
Berawal
dari terjadinya bencana meletusnya gunung merapi di akhir tahun 2010 silam.
Munculnya kesamaan misi dalam aksi kemanusiaan di tiap-tiap jurusan di ketiga
fakultas mulai meruntuhkan jurang pemisah di antaranya dan menumbuhkan
interaksi dalam kesatuan tingkat yang lebih besar, yakni dalam tingkat
Institut. Lihat artikel berikut ini, yang dimuat dalam salah satu rubrik
majalah dinding ”BEMaPER” FSP ISI Yogyakarta.
POSKO PEDULI MERAPI ISI YK MASIH JALAN!!
agi, 18 Desember 2010 beberapa mahasiswa ISI YK yang
terlibat dalam kegiatan kemanusiaan posko ISI YK, berangkat ke desa klakah
tengah kecamatan Selo, kabupaten Boyolali. Satu mobil dan satu pick up berangkat menuju
Selo sekitar pukul sembilan pagi, mengangkut 12 mahasiswa, yakni terdiri dari
mahasiswa FSR dan FSP, serta beberapa perlengkapan berupa dua sack tanah
liat, snack, bingkisan hadiah, serta beberapa keperluan lainnya yang
dibutuhkan untuk kegiatan terapi/trauma healing. Kecamatan Selo adalah salah
satu kecamatan yang masuk dalam daftar rawan bencana, atau daerah yang sangat
dekat dengan jangkauan erupsi merapi. Kondisi di Selo dan kawasan di
sekitarnya, seperti halnya Wonolelo, dan beberapa kecamatan lainnya yang
berdekatan bisa dikatakan masih dalam masa perbaikan, yang mana masih bisa
kita rasakan dampak atau efek-efek bencana erupsi merapi. “Sepanjang perjalanan, kami masih bisa
merasakan kengerian gunung merapi yang mencekam…. Kondisinya masih belum
stabil, angin badai masih sering datang, cuaca tak menentu…bahkan hari Rabu
kemarin tanggal 15 Desember, ketika pemberangkatan pertama terapi healing ke
Selo, mobil kami sempat ditahan oleh pohon besar yang tumbang di tengah jalan
akibat badai, hingga kami terpaksa berhenti dan menunggu sejenak sampai pohon
besar tersebut dapat disingkirkan dari jalan… sebenarnya kami waswas juga,
tapi kita harus terus melangkah, banyak anak-anak yang lucu menunggu untuk
kita hibur kita disana…” tutur salah seorang relawan posko yang mengikuti
kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut bisa dikatakan memang harus dikerjakan
dengan menempuh banyak resiko, bahkan sejak erupsi merapi masih masuk dalam
kondisi darurat/tanggap bencana, beberapa kali posko peduli merapi ISI YK
sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan seperti pengiriman logistik, yang
notabenenya para relawan harus turun ke medan yang masih belum stabil, di
mana mereka harus rela bermandikan hujan debu dan air. Berbagai tantangan
harus dihadapai sehubungan dengan kegiatan ini, baik dari internal kampus
sendiri, maupun tantangan dari luar–tidak
menyurutkan keinginan mulia para mahasiswa ISI YK untuk terus
berjuang, toh dapat dibuktikan nyatanya sampai sekarang posko masih berdiri
tegak.
Banyak sekali bentuk kegiatan yang dicanangkan
oleh posko ISI yang sudah terealisasikan salah satunya adalah trauma healing
pada hari sabtu 18 desember 2010 kemarin, dengan format bermain bersama.
Kegiatan tersebut berupa bermain dan belajar cara membuat kerajinan tangan
dengan tanah liat/keramik. Dengan berbagai peralatan yang telah disediakan,
serta dibimbing oleh tenaga-tenaga yang berpengalaman dalam bidang tersebut,
anak-anak korban merapi dipacu untuk melakukan kegiatan yang positif, sembari
bersenang-senang, melupakan sejenak kesedihan, ketakutan, serta ketegangan
mereka akibat dari bencana yang menerpa. Acara berlangsung dengan lancar,
anak-anak menyambut dengan gembira program tersebut, antusiasme mereka sangat
tinggi. Bahkan setelah asyik berkarya, anak-anak juga masih harus dikejutkan
dengan berbagai hadiah yang telah disediakan oleh panitia.
Trauma healing: Bermain dan belajar seni keramik, para
relawan posko ISI Yk berfoto bersama dengan anak-anak korban merapi saat
pembagian snack dan hadiah. (Foto : Gandhi Eka)
Untuk
program berikutnya, hari minggu 25 Desember 2010, posko merapi ISI YK
mencanangkan kegiatan tamasya bersama-sama, jalan-jalan ke kebun binatang
Gembira loka dan Taman Pintar untuk anak-anak korban merapi, kecamatan Selo
pada khusunya.
Luar
biasa, ditengah sibuknya perkuliahan dan berbagai kegiatan yang begitu padat
menjelang minggu-minggu ujian seperti ini pun, tak menjadikan halangan yang
berarti menyurutkan semangat untuk membantu sesama.
“walaupun tak seberapa…tapi akan
selalu kami tunjukan bahwa kami ada, demi mereka yang memanggil kita, demi
mereka yang membutuhkan uluran tangan kita, demi sedikit senyuman mereka,
demi mereka…saudara kita, demi kemanusiaan…..” “Cayooo…posko ISI YK…..”(Red.)
Sedikit
profil tentang posko peduli merapi ISI YK :
(Semboyan
: Merapi jangan menangis !!)
Lokasi
kantor : Ruang HMJ Etnomusikologi
Berdiri
sejak : 4 november 2010
Ketua : Yuan Madya S.
(FSR)
Wakil
ketua : Indra Ardianto
(FSP)
Sekretaris : Resti (FSP)
Segenap
kru yang terlibat (yang masih terdata) : Gandhi Eka (FSR), Julian Meru M.
(FSP), Ivan “Regol” (FSR), Bara “Abes” (FSR), Brian T. K. Adi (FSP), Subagyo
(FSP), Black (FSMR), Ira Oktari Ahmadin (FSR), Ovy N. (FSP), Pono (FSR),
Sekar (FSR), Hughes (FSR), Nawir (FSR), Thoriq (FSP), Iwang (FSP), Yuli
(FSR), Lucky (FSP), Vita (FSP), dan masih banyak lagi kru yang terlibat di
dalamnya (yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu) yang sudah rela dengan
ikhlas meneteskan peluh keringatnya, di sela-sela kesibukannya, menyisihkan
waktu demi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.
“Sungguh keindahan yang luar biasa ketika kita
bersama-sama saling bahu membahu, meruntuhkan egoisme, menjadi satu, tak ada
garis pembeda, dengan satu tujuan bersama yang menjadikan kita kokoh …..
kalau dengan bersama-sama kita bisa berbuat, kenapa harus menunggu?? Kapan
lagi bisa seperti ini?? .... buktikan bahwa kita tak hanya bisa diam ……
tunjukkan pada mereka ….. katakan pada mereka … kita masih hidup, lengkap
dengan semangat dan rasa!!!”(Red.)
Doc. by : B.T.K.A. 20-12-10
|
Posko
merapi ISI YK “Merapi Jangan Menangis” merupakan perwujudan kegiatan
kemahasiswaan tingkat institut yang mencakup keseluruhan elemen mahasiswa dari
ketiga fakultas di ISI YK. Aksi tersebut menumbuhkan pemikiran bagi tiap
pimpinan mahasiswa di tingkat fakultas akan pentingnya keberadaan sebuah
struktur kelembagaan yang lebih tinggi yang mampu mewadahi ketiga fakultas.
Singkatnya, sejak saat inilah muncul gagasan untuk membentuk kembali
kelembagaan mahasiswa tingkat institut yang telah sekian lama vakum.
Proses
kelahiran BEMI cukup singkat, tak lama setelah bencana merapi mereda, tepatnya
tanggal 22 Februari 2011 struktural BEMI dengan 11 pengurus dibertugaskan, didampingi
dengan organisasi struktural BLMI sebagai elemen pendukung yang bertugas
sebagai controling. Aneh ga sie? Proses
pembentukan organisasi tertinggi di kampus yang sudah lama vakum, namun hanya
memakan waktu singkat? Mustahil bin mustahal nampaknya, tapi toh nyatanya
terlaksana juga. Dengan sebuah tanda merah?? Itu tergantung dari hati nurani….Yang
saya tahu, kampus ini masih terkungkung dengan berbagai permasalahan yang
mendalam dan mengakar. Apakah itu? Mari kita tengok sejenak…
1.
Krisis
Kepemimpinan
Kesadaran mahasiswa ISI Yogyakarta
untuk terlibat aktif dalam keorganisasian tidak begitu nampak, bukan berarti
mati, tapi boleh kita gambarkan dengan istilah “kurang menggigit.” Kinerja
kelembagaan hanya dapat kita lihat di tiap-tiap lingkup sosialisasi yang kecil
secara sporadis, seperti layaknya KKM ataupun HMJ, itupun bukan berarti semua
HMJ aktif, beberapa diantaranya juga masih ada yang berstatus “mati suri.” Di
tingkat yang setingkat lebih tinggi keadaan semakin kronis. Pasalnya, menemukan
segelintir mahasiswa yang mau merelakan dirinya menjadi bagian kelompok kinerja
tingkat Fakultas seperti BEMF pun tidak semudah yang kita kira. Bisa anda
bayangkan, lembaga/organisasi di tingkat fakultas hanya ditangani oleh satu
orang saja? Itu pernah terjadi… Bisa kita bayangkan, apa jadinya untuk
kelembagaan dengan tingkat yang lebih tinggi lagi? Terbukti, begitu susah
mencari segelintir mahasiswa yang bersedia menjadi bakal calon ketua ISI
Yogyakarta. Panitia KPU BEMISI harus sempoyongan masuk ke dalam tiap-tiap
jurusan melakukan negosiasi atau bahkan “sedikit pemaksaan” untuk mendapatkan para
bakal calon tersebut. Kondisi ini cukup memprihatinkan bilamana kita bandingkan
dengan suasana keaktifan kelembagaan di kampus-kampus lain, yang mana
antusiasme mahasiswa untuk terlibat aktif cukup nampak, bahkan beberapa kampus
menggunakan system partai dengan persaingan yang begitu ketat.
2.
Ketakutan
akan memori masa lalu.
Sebagai keluarga baru sivitas
akademika ISI Yogyakarta pada waktu itu, saya sendiri tidak terlalu tahu menahu
tentang “Sejarah mendung” ISI Yogyakarta. Lalu, apakah dengan begitu
berarti saya bisa begitu saja bertindak tidak mau tahu ataupun ini berarti saya
tidak takut sama sekali? Sayang sekali, itupun tidak. Atmosfer bernuansa penuh
tekanan untuk berdiri tegak di puncak kepemimpinan kelembagaan di kampus ini masih
menjadi semacam “phobia global.”
Meski menghadapi kondisi dan
situasi yang berat, para penggagas nampaknya masih tetap “ngotot” untuk
mewujudkan keinginan ini. Toh pada akhirnya, ISI YK patut bergembira karena satu
dari apa yang “dicita-citakan?” akhirnya
terlahir pula. Pesta “gegap gempita tabur
bunga”, sekian banyak rangkaian acara kesenian, beragam pementasan, pameran
seni rupa dan fotografi, pemutaran film mengiringi hari bahagia ini. Seluruh
rakyat bersorak, manyambut seorang putri muda berparas manis ini untuk “dinobatkan” atau “dikorbankan” menjadi pemimpin pertama mereka. Dia, Setya Rahdiyatmi
Kurnia Jatilinuar, memenangkan pemilu yang telah diselenggarakan selama tiga
hari, memenuhi segala persyaratan, lolos seleksi yang ketat (tes pengetahuan,
wawancara, psikologi, jauh lebih ketat melebihi seleksi calon Rektor :D), dan
memiliki niat yang besar. Nampaknya tidak ada yang kurang dari pemimpin baru
kita ini, lebih dari cukup dilihat dari sudut pandang kriteria seleksi. Masalahnya
hanyalah, dia terlalu dini untuk menanggung segala beban dan karunia ini.
Sejarah mencatat pengalaman baru
untuk ISI YK sejak saat itu. Segala tatanan mulai berubah perlahan, tentu saja
dibarengi dengan bertumpuk permasalahan yang menghampiri. Bukan permasalahan
gampang merubah tatanan yang sudah mengakar selama satu windu. Pada
kenyataannya, meski kami (BEMI) disambut dengan meriah secara kasat mata, namun
dalam sistem kinerja (di mana poin inilah yang sebetulnya jauh lebih penting)
bentuk-bentuk penolakan muncul jauh lebih sering dibandingkan dengan
penerimaan. Ini ironis, “masyarakat menerima keberadaan kita namun tidak nampak
menerima eksistensi kita.” Gambaran kasus ialah sebagai berikut:
1.
BEMI dianggap sebagai organisasi muda
yang masih labil. Organisasi-organisasi di bawah BEMI, baik BEMF hingga HMJ
merasa dirinya jauh lebih mapan dan kompeten dalam kinerja kelembagaan.
2.
BEMI tidak bisa melakukan tindakan koordinatif
secara langsung (struktural), karena kebanyakan pengurus BEMI merupakan
angkatan yang relatif muda di kampus (angkatan 2009 dan 2008). Pada saat itu
kebanyakan organisasi di bawahi oleh mahasiswa angkatan 2007 ke atas. Permasalahan
dalam kasus ini adalah kesadaran mengenai etika dan moral meliputi rasa
menghormati terhadap kakak tingkat jauh lebih tinggi dibandingkan kesadaran
secara struktural. Begitupun bagi kakak kelas, kecenderungan untuk
mempertahankan gengsi nampak lebih menonjol, meski tidak semua begitu, beberapa
diantaranya memberikan penyikapan yang bagus dalam hal ini.
3.
Koordinasi dengan kelembagaan lain
pada tingkat institut kurang jelas. Secara struktural BEMI tidak memiliki hak
konrol namun lebih kepada mitra kerja (ditandai dengan adanya garis
putus-putus, bukan garis penuh dalam bagan keorganisasian). Lagi-lagi masalah
senioritas, organisasi-organisasi tingkat institut yang tergabung dalam UKM ISI
merasa bahwa diri mereka lebih senior dan lebih matang daripada BEMI yang prematur.
Keadaan ini menjadikan BEMI sulit mendapatkan kepercayaan—boro-boro mendapat
kepercayaan, bisa duduk sejajar dengan mereka saja sudah bagus. Ironis.
Dampak dari kurang sinergisitas sistem
kerja struktural menjadi beban yang berat bagi BEMI. BEMI yang dinanti-nantikan
oleh segenap elemen mahasiswa tidak mampu menunjukan taringnya. Bisa kita
bayangkan keadaan ini sebagai berikut:
Masyarakat
mahasiswa secara kasat mata adalah masyarakat HMJ sebagai himpunan terkecil,
yang berperan penting dalam kontrol massa adalah HMJ – system control
berikutnya berada di tangan BEMF sebagai bingkai pada tingkat fakultas, anggota
dari kelompok Fakultas sendiri mulai samar, tidak sejelas massa pada tingkat
jurusan. Permasalahannya adalah bila BEMF saja nampak kesulitan mengkontrol
massa, bagaimana dengan massa/anggota pada tingkat Institut? Tentu saja semakin
samar. Apalagi bilamana dari tingkat fakultas tidak melakukan tidak koordinatif
yang baik dengan tingkat institut – So, kesimpulannya organisasi institut
ibarat “kolam ikan tanpa ikan.” Apa yang mau kita panen dari kolam kita? Ikan
tetangga?
Kenyataannya, organisasi tingkat
institut selalu saja kesulitan dalam perekrutan massa. Secara kuantitas
seharusnya jumlah massa pada tingkat institut berkali-kali lipat daripada massa
tingkat jurusan, karena merupakan keseluruhan dari massa institut. Namun, pada
kenyataannya organisasi tingkat institut selalu saja sepi. Koordinasi dengan
elemen masyarakat terputus jauh sebelum melangkah ke tingkat institut (entah
pada tingkat jurusan itu sendiri yang memang tidak bisa melakukan kontroling,
tingkat jurusan ke fakultas, atau fakultas ke insitut, complicated).
“Harapan berbanding terbalik
dengan kenyataan” Mahasiswa-mahasiswa selalu menuntut BEMI dengan
bermacam-macam tuntutan, BEMI dianggap sebagai superhero baru yang lahir dengan
beribu kekuatan ampuh untuk menyelesaikan berbagai masalah. Itu benar dan bisa
saja terjadi bila harapan diimbangi dengan tindakan nyata bagi elemen
pendukungnya (ada harmonisasi di dalamnya). Nah, masalahnya BEMI yang baru
lahir ini tidak punya cukup kekuatan dari elemen-elemen pendukungnya. Alhasil
bayi kecil ini harus belajar lari tergopoh-gopoh mengejar segala hasrat mereka.
“Kasihan anak kecil ini, sendirian menghadapi marabahaya, mana orang tuanya?
Kok ga ada? Siapa yang nyuapin? Ah, boro-boro disuapin, Baru saja belajar
merangkak sudah dipaksa berlari dikejar keadaan.” Alhasil, bukan sekali dua
kali BEMI harus melakukan kerja double—bahkan
triple. Tidak hanya bertindak sebagai
organisasi tingkat institut, melainkan merangkap kerja selayaknya organisasi
tingkat menengah dan terkecil pula. Bagaimana bisa begitu? Baca contoh kasus berikut
ini:
Si
X adalah mahasiswa jurusan Z, dia memiliki masalah dengan jurusannya. Karena si
X menganggap BEMI ini superhero dengan berbagai kekuatan magic-nya datanglah si X ini kepada BEMI, berkeluh kesah, dan
dengan harapan yang sangat besar BEMI mampu menyelesaikannya. BEMI tidak bisa
menolak, karena bagaimanapun juga si X ini adalah warga mayarakat BEMI yang
harus diperjuangkan. Mau ga mau BEMI harus turun tangan sendiri ke lapangan
tempat munculnya permasalahan tersebut—yang kita tahu sumber masalahnya ada di
tingkat jurusan—untuk melakukan tindakan advokasi, di mana seharusnya lembaga
yang berwenang dan bertanggung jawab dalam hal ini adalah lembaga tingkat
jurusan (HMJ).
Jadi apa sie sebenarnya tugas
BEMI? Ambigu. Dalam kasus seperti ini, seharusnya lembaga pada tingkat jurusan
(HMJ) lah yang menangani terlebih dahulu, kemudian bila ternyata permasalahan
bermuara pada permasalahan di tingkat Fakultas, barulah wewenang diserahkan
kepada lembaga mahasiswa tingkat fakultas (BEMF). Kemudian, bilamana bermuara
pada kebijakan institusi, di sinilah kinerja BEMI dibutuhkan. Bekerjasama
dengan elemen pendampingnya dari HMJ hingga BEMF, BEMI melakukan tindakan
advokasi di tingkat institut. Nah, kalau jalur koordinasi ini disadari, barulah
BEMI bisa benar-benar menjadi superhero yang kuat bagi masyarakat ISI. Tapi
kenyataan berkata lain, masyarakat sendirilah yang pada akhirnya mengkutuk BEMI
menjadi malaikat tanpa sayap. Duh…..
Begitulah adanya, namun kita
tetap saja bertahan, berusaha mendengarkan dengan sabar segala keluh kesah,
terkadang caci maki, tidak jarang pula mendengar fitnah. Beuh…. Kita sadar,
kita masih lemah, tapi setidaknya kita masih kukuh dengan niat kita untuk
berjuang, memaksimalkan apa yang ada. Lebih dari dua tahun kawan, bukan waktu
yang singkat bagi “bayi mungil buta arah ini untuk tetap bertahan hidup.”
Banyak hal telah kita lalui bersama, kini waktunya bagi permulaan sejarah baru,
si bayi yang dulu kikuk kini sudah beranjak dewasa, bermetamorfosa ke dalam
bentuk baru yang lebih indah. Semakin kokoh merbakkan sayap-sayapnya. Kupu-kupu
harus meninggalkan kepompongnya. Kisah yang telah lalu hanyalah kepompong,
bukan akhir bagi sang larva. Perjalanan kita belum usai, kita hanya bertukar
tempat.
“Saya panjatkan beribu doa untuk
kisah indah berikutnya.”
Saya,
Brian Trinanda Kusuma Adi, sangat bersyukur telah menjadi bagian kecil dari
perjalanan ini.Saya junjungkan beribu hormat atas rasa cinta, pengorbanan,
serta pelajaran berharga yang telah dihadirkan oleh seluruh kerabat yang telah mewarnai
kisah-kisah hidupku selama sekian tahun ini. Sampai kapanpun BEMI tetaplah
menjadi rumah bersinggah yang kurindukan. Bagaimanapun kalian benar-benar
menjadi superhero dalam imajinasi bocahku.
Angkat
topi,
Setya
Rahdiyatmi K. J, Siswati Dancis Wati, Mbah Julian Meru M., Bu Jeli, Pak
Gandung, Alfonsus, Tante Nila, Namuri, Arif, Rake, Dae Ngambeg, Pasar Ikan
Bastian, Akbar Sak nggon-nggon, Andra,
Roni, Yustiawan,
Sampai
saat ini saya masih rindu dengan kalian…
Pare,
5/11/2013
Addition:
Konco-konco sedanten,
sepurone saya banyak ga bisa terlibat di banyak tugas belakangan ini. Lagi-lagi
tuntutan menjadi latar yang tak terelakkan. Saya terpaksa menjadi apatis, bukan
pula saya lupa dengan tempat kaki berpijak. Nah, iki janjane
menggalaukan…..tapi aku mung iso jaluk sepuro…
Maaf ga bisa
bantu-bantu bantu KPU, banyak ngilang di PPAK 2013 kemarin. Sejauh dua tahun
ini juga saya sering terlambat dalam setiap meeting. My bad habits guys, tapi
ini lagi masa rehabilitasi, secara nah… tiap pagi harus bangun jam5…hadoooh,
biasane bangun jam5 sore :D ….Semoga nantinya saya bisa terlibat bersama dengan
teman-teman kembali, tentu dengan keadaan yang jauh lebih baik. Amien. Semoga
semua berjalan lancar, jangan lupa kasih kabar yaaa….Sukses juga yang pada TA,
IBA, nyari duit, kuliah, proses, tugas-tugas….Lancar sakmenika!!! Amien
meneh….hehe….
(Iki aku serius dab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar