Minggu, 24 November 2013

Sebuah Catatan



Sebuah Catatan tentang kita….. BEMI (BEM ISI Yogyakarta) Periode 2011-2013

“Kita memang terlahir prematur, kita terlalu cepat dilahirkan, tapi kita selalu berusaha untuk terus bertahan, meski dengan merangkak, tertatih-tatih, hingga kita mulai lancar untuk berjalan, berhadapan dengan kerikil-kerikil, terkadang badai yang besar menghampiri, tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti. Kini kita telah dewasa, membuktikan apa yang semestinya kita perbuat, memperoleh prestasi, melahirkan generasi baru, berharap untuk menumbuhkan semangat baru, membangun jembatan untuk secercah harapan masa depan yang lebih baik dari sekarang untuk keluarga kita tercinta, ISI Yogyakarta.”
Sekian lama ISI YK kehilangan satuan kelembagaan mahasiswa tingkat Institut. Kurang lebih 8 tahun (1 windu) lamanya, bukanlah waktu yang pendek, ISI YK dilanda masa kritis kepemimpinan, di mana mahasiswa sebagai elemen aktif civitas akademika tidak mampu untuk menyampaikan suaranya di tingkat tertinggi institusi, sebagian kelompok mahasiswa terkooptasi di dalam lingkaran-lingkaran individualisme, di mana kesadaran untuk bersinergi hanya bertahan dalam ruang-ruang kelompoknya masing-masing yang sporadis, atau bahkan lebih gawatnya lagi justru tidak ada interaksi sama sekali di dalam ruang-ruang kecil itu. Ini ironis!!! Melahirkan suasana elitis yang nggak elit sama sekali, kenapa? Karena kita hanya akan menjadi katak dalam tempurung, yang begitu kepayahan meski hanya untuk sekedar mengintip sela-sela aktivitas di luar sangkar yang mengungkung. Kaca mata kuda.
Mengulik sejarah yang menjadikan alasan tumbangnya kelembagaan mahasiswa—yang seharusnya mampu mewadahi dan menambal lubang jalan pemisah tersebut, hingga begitu lamanya, masih menjadi tanda tanya yang cukup besar. Begitu banyak  persepsi dalam tiap-tiap permasalahan yang melatarbelakanginya. Nampaknya, bukan kapasitas saya untuk membongkarnya satu demi satu pada kesempatan kali ini. (Butuh bab khusus dengan penelitian panjang yang komprehensif…hahah). Yang penting sekarang kita dapat evaluasi bersama situasi seperti ini, so, pentng ga sie adanya kelembagaan tingkat institut?
Berawal dari terjadinya bencana meletusnya gunung merapi di akhir tahun 2010 silam. Munculnya kesamaan misi dalam aksi kemanusiaan di tiap-tiap jurusan di ketiga fakultas mulai meruntuhkan jurang pemisah di antaranya dan menumbuhkan interaksi dalam kesatuan tingkat yang lebih besar, yakni dalam tingkat Institut. Lihat artikel berikut ini, yang dimuat dalam salah satu rubrik majalah dinding ”BEMaPER” FSP ISI Yogyakarta.


POSKO PEDULI MERAPI ISI YK MASIH JALAN!!


Pagi, 18 Desember 2010 beberapa mahasiswa ISI YK yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan posko ISI YK, berangkat ke desa klakah tengah kecamatan Selo, kabupaten Boyolali. Satu  mobil dan satu pick up berangkat menuju Selo sekitar pukul sembilan pagi, mengangkut 12 mahasiswa, yakni terdiri dari mahasiswa FSR dan FSP, serta beberapa perlengkapan berupa dua sack tanah liat, snack, bingkisan hadiah, serta beberapa keperluan lainnya yang dibutuhkan untuk kegiatan terapi/trauma healing. Kecamatan Selo adalah salah satu kecamatan yang masuk dalam daftar rawan bencana, atau daerah yang sangat dekat dengan jangkauan erupsi merapi. Kondisi di Selo dan kawasan di sekitarnya, seperti halnya Wonolelo, dan beberapa kecamatan lainnya yang berdekatan bisa dikatakan masih dalam masa perbaikan, yang mana masih bisa kita rasakan dampak atau efek-efek bencana erupsi merapi. “Sepanjang perjalanan, kami masih bisa merasakan kengerian gunung merapi yang mencekam…. Kondisinya masih belum stabil, angin badai masih sering datang, cuaca tak menentu…bahkan hari Rabu kemarin tanggal 15 Desember, ketika pemberangkatan pertama terapi healing ke Selo, mobil kami sempat ditahan oleh pohon besar yang tumbang di tengah jalan akibat badai, hingga kami terpaksa berhenti dan menunggu sejenak sampai pohon besar tersebut dapat disingkirkan dari jalan… sebenarnya kami waswas juga, tapi kita harus terus melangkah, banyak anak-anak yang lucu menunggu untuk kita hibur kita disana…” tutur salah seorang relawan posko yang mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut bisa dikatakan memang harus dikerjakan dengan menempuh banyak resiko, bahkan sejak erupsi merapi masih masuk dalam kondisi darurat/tanggap bencana, beberapa kali posko peduli merapi ISI YK sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan seperti pengiriman logistik, yang notabenenya para relawan harus turun ke medan yang masih belum stabil, di mana mereka harus rela bermandikan hujan debu dan air. Berbagai tantangan harus dihadapai sehubungan dengan kegiatan ini, baik dari internal kampus sendiri, maupun tantangan dari luar–tidak  menyurutkan keinginan mulia para mahasiswa ISI YK untuk terus berjuang, toh dapat dibuktikan nyatanya sampai sekarang posko masih berdiri tegak.
Banyak sekali bentuk kegiatan yang dicanangkan oleh posko ISI yang sudah terealisasikan salah satunya adalah trauma healing pada hari sabtu 18 desember 2010 kemarin, dengan format bermain bersama. Kegiatan tersebut berupa bermain dan belajar cara membuat kerajinan tangan dengan tanah liat/keramik. Dengan berbagai peralatan yang telah disediakan, serta dibimbing oleh tenaga-tenaga yang berpengalaman dalam bidang tersebut, anak-anak korban merapi dipacu untuk melakukan kegiatan yang positif, sembari bersenang-senang, melupakan sejenak kesedihan, ketakutan, serta ketegangan mereka akibat dari bencana yang menerpa. Acara berlangsung dengan lancar, anak-anak menyambut dengan gembira program tersebut, antusiasme mereka sangat tinggi. Bahkan setelah asyik berkarya, anak-anak juga masih harus dikejutkan dengan berbagai hadiah yang telah disediakan oleh panitia.




      
Trauma healing: Bermain dan belajar seni keramik, para relawan posko ISI Yk berfoto bersama dengan anak-anak korban merapi saat pembagian snack dan hadiah. (Foto : Gandhi Eka)

Untuk program berikutnya, hari minggu 25 Desember 2010, posko merapi ISI YK mencanangkan kegiatan tamasya bersama-sama, jalan-jalan ke kebun binatang Gembira loka dan Taman Pintar untuk anak-anak korban merapi, kecamatan Selo pada khusunya.
Luar biasa, ditengah sibuknya perkuliahan dan berbagai kegiatan yang begitu padat menjelang minggu-minggu ujian seperti ini pun, tak menjadikan halangan yang berarti menyurutkan semangat untuk membantu sesama.

“walaupun tak seberapa…tapi akan selalu kami tunjukan bahwa kami ada, demi mereka yang memanggil kita, demi mereka yang membutuhkan uluran tangan kita, demi sedikit senyuman mereka, demi mereka…saudara kita, demi kemanusiaan…..” “Cayooo…posko ISI YK…..”(Red.)

Sedikit profil tentang posko peduli merapi ISI YK :
(Semboyan : Merapi jangan menangis !!)

Lokasi kantor : Ruang HMJ Etnomusikologi
Berdiri sejak                  : 4 november 2010
Ketua                               : Yuan Madya S. (FSR)
Wakil ketua                   : Indra Ardianto (FSP)
Sekretaris                       : Resti     (FSP)

Segenap kru yang terlibat (yang masih terdata) : Gandhi Eka (FSR), Julian Meru M. (FSP), Ivan “Regol” (FSR), Bara “Abes” (FSR), Brian T. K. Adi (FSP), Subagyo (FSP), Black (FSMR), Ira Oktari Ahmadin (FSR), Ovy N. (FSP), Pono (FSR), Sekar (FSR), Hughes (FSR), Nawir (FSR), Thoriq (FSP), Iwang (FSP), Yuli (FSR), Lucky (FSP), Vita (FSP), dan masih banyak lagi kru yang terlibat di dalamnya (yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu) yang sudah rela dengan ikhlas meneteskan peluh keringatnya, di sela-sela kesibukannya, menyisihkan waktu demi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.


“Sungguh keindahan yang luar biasa ketika kita bersama-sama saling bahu membahu, meruntuhkan egoisme, menjadi satu, tak ada garis pembeda, dengan satu tujuan bersama yang menjadikan kita kokoh ….. kalau dengan bersama-sama kita bisa berbuat, kenapa harus menunggu?? Kapan lagi bisa seperti ini?? .... buktikan bahwa kita tak hanya bisa diam …… tunjukkan pada mereka ….. katakan pada mereka … kita masih hidup, lengkap dengan semangat dan rasa!!!”(Red.)

Doc. by : B.T.K.A. 20-12-10



Posko merapi ISI YK “Merapi Jangan Menangis” merupakan perwujudan kegiatan kemahasiswaan tingkat institut yang mencakup keseluruhan elemen mahasiswa dari ketiga fakultas di ISI YK. Aksi tersebut menumbuhkan pemikiran bagi tiap pimpinan mahasiswa di tingkat fakultas akan pentingnya keberadaan sebuah struktur kelembagaan yang lebih tinggi yang mampu mewadahi ketiga fakultas. Singkatnya, sejak saat inilah muncul gagasan untuk membentuk kembali kelembagaan mahasiswa tingkat institut yang telah sekian lama vakum.
Proses kelahiran BEMI cukup singkat, tak lama setelah bencana merapi mereda, tepatnya tanggal 22 Februari 2011 struktural BEMI dengan 11 pengurus dibertugaskan, didampingi dengan organisasi struktural BLMI sebagai elemen pendukung yang bertugas sebagai controling. Aneh ga sie? Proses pembentukan organisasi tertinggi di kampus yang sudah lama vakum, namun hanya memakan waktu singkat? Mustahil bin mustahal nampaknya, tapi toh nyatanya terlaksana juga. Dengan sebuah tanda merah?? Itu tergantung dari hati nurani….Yang saya tahu, kampus ini masih terkungkung dengan berbagai permasalahan yang mendalam dan mengakar. Apakah itu? Mari kita tengok sejenak…

1.      Krisis Kepemimpinan
Kesadaran mahasiswa ISI Yogyakarta untuk terlibat aktif dalam keorganisasian tidak begitu nampak, bukan berarti mati, tapi boleh kita gambarkan dengan istilah “kurang menggigit.” Kinerja kelembagaan hanya dapat kita lihat di tiap-tiap lingkup sosialisasi yang kecil secara sporadis, seperti layaknya KKM ataupun HMJ, itupun bukan berarti semua HMJ aktif, beberapa diantaranya juga masih ada yang berstatus “mati suri.” Di tingkat yang setingkat lebih tinggi keadaan semakin kronis. Pasalnya, menemukan segelintir mahasiswa yang mau merelakan dirinya menjadi bagian kelompok kinerja tingkat Fakultas seperti BEMF pun tidak semudah yang kita kira. Bisa anda bayangkan, lembaga/organisasi di tingkat fakultas hanya ditangani oleh satu orang saja? Itu pernah terjadi… Bisa kita bayangkan, apa jadinya untuk kelembagaan dengan tingkat yang lebih tinggi lagi? Terbukti, begitu susah mencari segelintir mahasiswa yang bersedia menjadi bakal calon ketua ISI Yogyakarta. Panitia KPU BEMISI harus sempoyongan masuk ke dalam tiap-tiap jurusan melakukan negosiasi atau bahkan “sedikit pemaksaan” untuk mendapatkan para bakal calon tersebut. Kondisi ini cukup memprihatinkan bilamana kita bandingkan dengan suasana keaktifan kelembagaan di kampus-kampus lain, yang mana antusiasme mahasiswa untuk terlibat aktif cukup nampak, bahkan beberapa kampus menggunakan system partai dengan persaingan yang begitu ketat.

2.      Ketakutan akan memori masa lalu.
Sebagai keluarga baru sivitas akademika ISI Yogyakarta pada waktu itu, saya sendiri tidak terlalu tahu menahu tentang “Sejarah mendung”  ISI Yogyakarta. Lalu, apakah dengan begitu berarti saya bisa begitu saja bertindak tidak mau tahu ataupun ini berarti saya tidak takut sama sekali? Sayang sekali, itupun tidak. Atmosfer bernuansa penuh tekanan untuk berdiri tegak di puncak kepemimpinan kelembagaan di kampus ini masih menjadi semacam “phobia global.”

Meski menghadapi kondisi dan situasi yang berat, para penggagas nampaknya masih tetap “ngotot” untuk mewujudkan keinginan ini. Toh pada akhirnya, ISI YK patut bergembira karena satu dari apa yang “dicita-citakan?” akhirnya terlahir pula. Pesta “gegap gempita tabur bunga”, sekian banyak rangkaian acara kesenian, beragam pementasan, pameran seni rupa dan fotografi, pemutaran film mengiringi hari bahagia ini. Seluruh rakyat bersorak, manyambut seorang putri muda berparas manis ini untuk “dinobatkan” atau “dikorbankan” menjadi pemimpin pertama mereka. Dia, Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar, memenangkan pemilu yang telah diselenggarakan selama tiga hari, memenuhi segala persyaratan, lolos seleksi yang ketat (tes pengetahuan, wawancara, psikologi, jauh lebih ketat melebihi seleksi calon Rektor :D), dan memiliki niat yang besar. Nampaknya tidak ada yang kurang dari pemimpin baru kita ini, lebih dari cukup dilihat dari sudut pandang kriteria seleksi. Masalahnya hanyalah, dia terlalu dini untuk menanggung segala beban dan karunia ini.
Sejarah mencatat pengalaman baru untuk ISI YK sejak saat itu. Segala tatanan mulai berubah perlahan, tentu saja dibarengi dengan bertumpuk permasalahan yang menghampiri. Bukan permasalahan gampang merubah tatanan yang sudah mengakar selama satu windu. Pada kenyataannya, meski kami (BEMI) disambut dengan meriah secara kasat mata, namun dalam sistem kinerja (di mana poin inilah yang sebetulnya jauh lebih penting) bentuk-bentuk penolakan muncul jauh lebih sering dibandingkan dengan penerimaan. Ini ironis, “masyarakat menerima keberadaan kita namun tidak nampak menerima eksistensi kita.” Gambaran kasus ialah sebagai berikut:
1.      BEMI dianggap sebagai organisasi muda yang masih labil. Organisasi-organisasi di bawah BEMI, baik BEMF hingga HMJ merasa dirinya jauh lebih mapan dan kompeten dalam kinerja kelembagaan.
2.      BEMI tidak bisa melakukan tindakan koordinatif secara langsung (struktural), karena kebanyakan pengurus BEMI merupakan angkatan yang relatif muda di kampus (angkatan 2009 dan 2008). Pada saat itu kebanyakan organisasi di bawahi oleh mahasiswa angkatan 2007 ke atas. Permasalahan dalam kasus ini adalah kesadaran mengenai etika dan moral meliputi rasa menghormati terhadap kakak tingkat jauh lebih tinggi dibandingkan kesadaran secara struktural. Begitupun bagi kakak kelas, kecenderungan untuk mempertahankan gengsi nampak lebih menonjol, meski tidak semua begitu, beberapa diantaranya memberikan penyikapan yang bagus dalam hal ini.
3.      Koordinasi dengan kelembagaan lain pada tingkat institut kurang jelas. Secara struktural BEMI tidak memiliki hak konrol namun lebih kepada mitra kerja (ditandai dengan adanya garis putus-putus, bukan garis penuh dalam bagan keorganisasian). Lagi-lagi masalah senioritas, organisasi-organisasi tingkat institut yang tergabung dalam UKM ISI merasa bahwa diri mereka lebih senior dan lebih matang daripada BEMI yang prematur. Keadaan ini menjadikan BEMI sulit mendapatkan kepercayaan—boro-boro mendapat kepercayaan, bisa duduk sejajar dengan mereka saja sudah bagus. Ironis.
Dampak dari kurang sinergisitas sistem kerja struktural menjadi beban yang berat bagi BEMI. BEMI yang dinanti-nantikan oleh segenap elemen mahasiswa tidak mampu menunjukan taringnya. Bisa kita bayangkan keadaan ini sebagai berikut:
Masyarakat mahasiswa secara kasat mata adalah masyarakat HMJ sebagai himpunan terkecil, yang berperan penting dalam kontrol massa adalah HMJ – system control berikutnya berada di tangan BEMF sebagai bingkai pada tingkat fakultas, anggota dari kelompok Fakultas sendiri mulai samar, tidak sejelas massa pada tingkat jurusan. Permasalahannya adalah bila BEMF saja nampak kesulitan mengkontrol massa, bagaimana dengan massa/anggota pada tingkat Institut? Tentu saja semakin samar. Apalagi bilamana dari tingkat fakultas tidak melakukan tidak koordinatif yang baik dengan tingkat institut – So, kesimpulannya organisasi institut ibarat “kolam ikan tanpa ikan.” Apa yang mau kita panen dari kolam kita? Ikan tetangga?
Kenyataannya, organisasi tingkat institut selalu saja kesulitan dalam perekrutan massa. Secara kuantitas seharusnya jumlah massa pada tingkat institut berkali-kali lipat daripada massa tingkat jurusan, karena merupakan keseluruhan dari massa institut. Namun, pada kenyataannya organisasi tingkat institut selalu saja sepi. Koordinasi dengan elemen masyarakat terputus jauh sebelum melangkah ke tingkat institut (entah pada tingkat jurusan itu sendiri yang memang tidak bisa melakukan kontroling, tingkat jurusan ke fakultas, atau fakultas ke insitut, complicated).
“Harapan berbanding terbalik dengan kenyataan” Mahasiswa-mahasiswa selalu menuntut BEMI dengan bermacam-macam tuntutan, BEMI dianggap sebagai superhero baru yang lahir dengan beribu kekuatan ampuh untuk menyelesaikan berbagai masalah. Itu benar dan bisa saja terjadi bila harapan diimbangi dengan tindakan nyata bagi elemen pendukungnya (ada harmonisasi di dalamnya). Nah, masalahnya BEMI yang baru lahir ini tidak punya cukup kekuatan dari elemen-elemen pendukungnya. Alhasil bayi kecil ini harus belajar lari tergopoh-gopoh mengejar segala hasrat mereka. “Kasihan anak kecil ini, sendirian menghadapi marabahaya, mana orang tuanya? Kok ga ada? Siapa yang nyuapin? Ah, boro-boro disuapin, Baru saja belajar merangkak sudah dipaksa berlari dikejar keadaan.” Alhasil, bukan sekali dua kali BEMI harus melakukan kerja double—bahkan triple. Tidak hanya bertindak sebagai organisasi tingkat institut, melainkan merangkap kerja selayaknya organisasi tingkat menengah dan terkecil pula. Bagaimana bisa begitu? Baca contoh kasus berikut ini:
Si X adalah mahasiswa jurusan Z, dia memiliki masalah dengan jurusannya. Karena si X menganggap BEMI ini superhero dengan berbagai kekuatan magic-nya datanglah si X ini kepada BEMI, berkeluh kesah, dan dengan harapan yang sangat besar BEMI mampu menyelesaikannya. BEMI tidak bisa menolak, karena bagaimanapun juga si X ini adalah warga mayarakat BEMI yang harus diperjuangkan. Mau ga mau BEMI harus turun tangan sendiri ke lapangan tempat munculnya permasalahan tersebut—yang kita tahu sumber masalahnya ada di tingkat jurusan—untuk melakukan tindakan advokasi, di mana seharusnya lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab dalam hal ini adalah lembaga tingkat jurusan (HMJ).
Jadi apa sie sebenarnya tugas BEMI? Ambigu. Dalam kasus seperti ini, seharusnya lembaga pada tingkat jurusan (HMJ) lah yang menangani terlebih dahulu, kemudian bila ternyata permasalahan bermuara pada permasalahan di tingkat Fakultas, barulah wewenang diserahkan kepada lembaga mahasiswa tingkat fakultas (BEMF). Kemudian, bilamana bermuara pada kebijakan institusi, di sinilah kinerja BEMI dibutuhkan. Bekerjasama dengan elemen pendampingnya dari HMJ hingga BEMF, BEMI melakukan tindakan advokasi di tingkat institut. Nah, kalau jalur koordinasi ini disadari, barulah BEMI bisa benar-benar menjadi superhero yang kuat bagi masyarakat ISI. Tapi kenyataan berkata lain, masyarakat sendirilah yang pada akhirnya mengkutuk BEMI menjadi malaikat tanpa sayap. Duh…..
Begitulah adanya, namun kita tetap saja bertahan, berusaha mendengarkan dengan sabar segala keluh kesah, terkadang caci maki, tidak jarang pula mendengar fitnah. Beuh…. Kita sadar, kita masih lemah, tapi setidaknya kita masih kukuh dengan niat kita untuk berjuang, memaksimalkan apa yang ada. Lebih dari dua tahun kawan, bukan waktu yang singkat bagi “bayi mungil buta arah ini untuk tetap bertahan hidup.” Banyak hal telah kita lalui bersama, kini waktunya bagi permulaan sejarah baru, si bayi yang dulu kikuk kini sudah beranjak dewasa, bermetamorfosa ke dalam bentuk baru yang lebih indah. Semakin kokoh merbakkan sayap-sayapnya. Kupu-kupu harus meninggalkan kepompongnya. Kisah yang telah lalu hanyalah kepompong, bukan akhir bagi sang larva. Perjalanan kita belum usai, kita hanya bertukar tempat.

“Saya panjatkan beribu doa untuk kisah indah berikutnya.”
Saya, Brian Trinanda Kusuma Adi, sangat bersyukur telah menjadi bagian kecil dari perjalanan ini.Saya junjungkan beribu hormat atas rasa cinta, pengorbanan, serta pelajaran berharga yang telah dihadirkan oleh seluruh kerabat yang telah mewarnai kisah-kisah hidupku selama sekian tahun ini. Sampai kapanpun BEMI tetaplah menjadi rumah bersinggah yang kurindukan. Bagaimanapun kalian benar-benar menjadi superhero dalam imajinasi bocahku.
Angkat topi,
Setya Rahdiyatmi K. J, Siswati Dancis Wati, Mbah Julian Meru M., Bu Jeli, Pak Gandung, Alfonsus, Tante Nila, Namuri, Arif, Rake, Dae Ngambeg, Pasar Ikan Bastian, Akbar Sak nggon-nggon,  Andra, Roni, Yustiawan,
Sampai saat ini saya masih rindu dengan kalian…
Pare, 5/11/2013






Addition:
Konco-konco sedanten, sepurone saya banyak ga bisa terlibat di banyak tugas belakangan ini. Lagi-lagi tuntutan menjadi latar yang tak terelakkan. Saya terpaksa menjadi apatis, bukan pula saya lupa dengan tempat kaki berpijak. Nah, iki janjane menggalaukan…..tapi aku mung iso jaluk sepuro…
Maaf ga bisa bantu-bantu bantu KPU, banyak ngilang di PPAK 2013 kemarin. Sejauh dua tahun ini juga saya sering terlambat dalam setiap meeting. My bad habits guys, tapi ini lagi masa rehabilitasi, secara nah… tiap pagi harus bangun jam5…hadoooh, biasane bangun jam5 sore :D ….Semoga nantinya saya bisa terlibat bersama dengan teman-teman kembali, tentu dengan keadaan yang jauh lebih baik. Amien. Semoga semua berjalan lancar, jangan lupa kasih kabar yaaa….Sukses juga yang pada TA, IBA, nyari duit, kuliah, proses, tugas-tugas….Lancar sakmenika!!! Amien meneh….hehe….
(Iki aku serius dab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*