Selasa, 16 Desember 2014

Mozaik 5







Jogjanews.com -“Bulan Bahasa UGM 2014” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM dari Bulan September hingga November 2014.

Pada acara “Bincang-bincang Stand Up Comedy,” Dihadirkan dua narasumber dengan dua latar yang berbeda yaitu Prof. I Dewa Putu Wijana dan seorang Comic Anang Batas guna membahas seluk beluk Stand Up Comedy di Indonesia.

 “Bahasa adalah sebuah produk kebudayaan yang paling jelas menampakan karakter sebuah kebudayaan, oleh karenanya pengkajian pada unsur kebahasaan menjadi hal ikhwal yang sangat utama dalam pengkajian kebudayaan,” tutur Putu (21/11/14).

Dalam bincang-bincang yang hangat, ilmiah, dan penuh kelakar ini, Prof. Putu juga menampikan adanya pandangan yang menyatakan bahwa permainan bahasa adalah kekanak-kanakan dan tidak ilmiah, niscaya pada tiap jaman permainan bahasa nyatanya berperan penting dalam penyampaian informasi, oleh karenanya tidak dapat kita nisbikan begitu saja.

Permainan bahasa berperan serta dalam Naskah-naskah Shakespere pada jaman Elizabeth, ketidakpahaman akan permainan bahasa bahkan dapat begitu berbahaya, hingga digambarkan dapat menjadi faktor kuncinya kekalahan Arya Penangsang yang sering ditampilkan dalam lakon-lakon sandiwara ketoprak.

Dalam kesempatan ini, Anang Batas juga menyampaikan gagasan menariknya tentang perbandingan ketoprak modern dan tradisional/lokal. Rule of three, yakni hubungan antara set up berisi beat beat dan diakhiri dengan punch dalam comedian modern/comic sama dengan “tek-tek-ger” dalam komedi lokal, yang mana tek sama halnya dengan set up dengan beat di dalamnya, kemudian ger itu sendiri adalah punch. Perbedaan diantara keduanya dipaparkan oleh Anang sebagai berikut, “Kalau pada stand up comedy ada teknis-teknis/teori yang menjadi acuan, makanya menulis konsep menjadi penting sekali, skill menjadi yang utama, sedangkan pada komedi lokal tidak ada teori acuan, rasa, bakat, dan fitrah menjadi yang lebih utama.” 

Mozaik 4





Reporter: Brian Trinanda

Jogjanews.com-Tepat pada tahun 2014 ini, jurusan Antropologi Budaya UGM telah memasuki usia emas, yakni tepat 50 tahun, sejak pertama berdiri di tahun 1964. Pada ulang tahun emasnya ini, jurusan Antropologi Budaya UGM menyambutnya dengan mengadakan berbagai jenis kegiatan, diantaranya ialah lomba karya ilmiah pada tanggal 13-19 Oktober 2014, Screening dan diskusi film “etnografi” pada tanggal 21 November 2014, kemudian Antrolympiade pada 23 November 2014, Kegiatan tersebut digelar di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta. Serta ditutup dengan acara puncak berupa seminar, peluncuran buku, exhibition & bazaar, dan penampilan musik, pagelaran Wayang Antro dan penampilan OM Dekan Budaya pada 28-29 November 2014 nanti.

“Kami sudah menyiapkan berbagai konten acara baru yang istimewa dalam rangka menyambut ulang tahun emas ini, pemutaran film etnografi ini ialah salah satunya. Tahun ini ialah pertama kalinya konten ini masuk dalam agenda diesnatalis Antropologi Budaya UGM,” tutur Elda sebagai koordonator acara (21/11). Dari empat judul film yang disiapkan, dipilihlah dua film terbaik, yakni “Denok dan Gareng” karya sutradara Dwi Sujanti dan “Mentawai Tattoo Revival” karya sutradara Rahung Nasution.

Reporter: Brian Trinanda

Jogjanews.com-Tepat pada tahun 2014 ini, jurusan Antropologi Budaya UGM telah memasuki usia emas, yakni tepat 50 tahun, sejak pertama berdiri di tahun 1964. Pada ulang tahun emasnya ini, jurusan Antropologi Budaya UGM menyambutnya dengan mengadakan berbagai jenis kegiatan, diantaranya ialah lomba karya ilmiah pada tanggal 13-19 Oktober 2014, Screening dan diskusi film “etnografi” pada tanggal 21 November 2014, kemudian Antrolympiade pada 23 November 2014, Kegiatan tersebut digelar di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta. Serta ditutup dengan acara puncak berupa seminar, peluncuran buku, exhibition & bazaar, dan penampilan musik, pagelaran Wayang Antro dan penampilan OM Dekan Budaya pada 28-29 November 2014 nanti.

“Kami sudah menyiapkan berbagai konten acara baru yang istimewa dalam rangka menyambut ulang tahun emas ini, pemutaran film etnografi ini ialah salah satunya. Tahun ini ialah pertama kalinya konten ini masuk dalam agenda diesnatalis Antropologi Budaya UGM,” tutur Elda sebagai koordonator acara (21/11). Dari empat judul film yang disiapkan, dipilihlah dua film terbaik, yakni “Denok dan Gareng” karya sutradara Dwi Sujanti dan “Mentawai Tattoo Revival” karya sutradara Rahung Nasution.
- See more at: http://jogjanews.com/dies_natalis_ke-50_jurusan_antropologi_budaya_ugm_#sthash.r0f1k8iR.dpuf

Mozaik 3





Reporter: Brian Trinanda

Jogjanews.com-Pembelajaran terpenting yang mampu didapatkan dari menyaksikan film “Denok dan Gareng” karya Dwi Sujanti Nugraheni ialah pemahaman mengenai bagaimana sebuah perspektif kehidupan rakyat “pinggiran,” atau secara spesifik ialah perspektif objek (Denok dan Gareng) dalam memaknai kehidupan.

Hal ini sejalur dengan prinsip etnografi, yakni sebagai “sebuah pengalaman yang didapatkan melalui melihat” tutur Kiki Koesuma Kristi sebagai salah satu pengamat budaya yang dihadirkan dalam kegiatan diskusi dan screening film Etnografi yang juga merupakan salah satu kegiatan perayaan Dies Natalis ke-50 Jurusan Antropologi UGM yang digelar di di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta (21/11/14).

“Tak hanya menjelaskan subjek-subjek intim, namun sekaligus melihat konteks yang lebih luas,” ujar Zakky mahasiswa UIN YK yang turut bergabung dalam diskusi yang hangat tersebut.

Di samping itu, Kiki juga turut berpesan mengenai pentingnya diskusi lebih lanjut dalam mengkritisi pemunculan perspektif-perspektif baru dari film “Denok dan Gareng”, terutama menilik karya film tersebut sebagai film etnografis.

Terakhir, Dwi Sujanti Nugraheni merasa perlu mengingatkan bahwa dalam pembuatan karya dokumenter/etnografis semacam ini, rasa kebertanggung jawaban dan etika harus diutamakan. “Saya tidak ingin mengeksplor kemiskinan mereka, berikut pula Saya tidak ingin mengeksploitasi banyak hal ‘buruk’ di sekitar kehidupan mereka, Saya harus berpegang penuh pada kode etik dengan cara selalu meminta ijin terlebih dahulu, dari saat mengambil gambar, hingga nanti hasil perekaman dipresentasikan. Dengan cara itu, Saya ingin penonton merasakan apa yang Saya rasakan, ketika Saya masuk ke rumah mereka, serta belajar melalui mereka. Saya benar-benar berada di sana, masuk di dalam kehidupan mereka, tidak hanya meletakkan kamera!”, terang Dwi Sujanti Nugraheni.

Mozaik 2







Jogjanews.com-Menilik proses kerja Dwi Sujanti Nugraheni atau yang akrab disapa sebagai Mbak Heni sebagai film maker “Denok dan Gareng” merupakan sebuah pembelajaran menarik. Demikianlah yang terlihat dari kegiatan diskusi dan screening film Etnografi yang juga merupakan salah satu kegiatan perayaan Dies Natalis ke-50 Jurusan Antropologi UGM yang digelar di di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta (21/11/14).

Bukanlah proses yang mudah untuk menghasilkan sebuah karya berupa rekam jejak kehidupan dengan kejelian secermat ini, “Butuh waktu berbulan-bulan hanya dalam proses adaptasi objek, yakni anggota keluarga Denok dan Gareng, terhadap kamera,” tutur Mbak Heni.

Kalimat seperti halnya “Ngopo to mbak ngikut-ngikut terus pake kamera?, ataupun berbagai sikap-sikap penolakan lainnya acapkali ditemui oleh Mbak Heni, meskipun pada akhirnya Mbak Heni, tentu dengan usahanya yang gigih, berhasil merekam berbagai momen-momen intim, seperti halnya konflik-konflik kecil dalam keluarga, bahkan hingga hubungan mesra.

“Hal yang paling menyedihkan bagi Saya ialah membuang ratusan jam (sekitar dua ratus jam) rekaman video, untuk menampilkan sajian film dokumenter yang tak lebih dari dua jam ini,” tutur Heni. Meskipun begitu tetap saja hal ini harus dilakukan, tak hanya untuk membuat fokus alur cerita, namun juga untuk menyampaikan pesan-pesan dalam film ini setajam mungkin.

Mozaik 1









Jogjanews.com-Film “etnografi” berjudul “Denok dan Gareng” merupakan salah satu film yang diputar dalam screening dan diskusi film etnografi, sebagai salah satu rangakaian acara ulang tahun ke-50 jurusan Antropologi Budaya UGM, di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (21/11/14).

Film berdurasi 89 menit ini mengisahkan tentang dua mantan anak jalanan, Denok dan Gareng yang memulai kehidupan baru mereka. Keduanya bermimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Maka, keduanya memulai usaha menjual babi, di tengah mayoritas masyarakat muslim di Yogyakarta. Film yang disutradarai oleh Dwi Sujanti seorang filmmaker alumni Fisipol UGM ini pertama kali diputar pada tahun 2012 di IDFA Amsterdam.

“Melihat kehidupan Gareng dan Denok melalui mata kamera,” tutur Zakky (mahasiswa UIN YK) dalam sesi diskusi film tersebut (21/11). Kamera ibarat sebuah mata, yang mengintai segala sisi menarik kehidupan yang dijalani Denok dan Gareng. Bagi Zakky, berikut pula menyadur dari apa yang disampaikan oleh berbagai pengamat film dalam berbagai ajang festival film di mana film “Denok dan Gareng” berkali-kali menjadi nomor yang diperhitungkan, keberhasilan film ini ialah berkat kejelian Dwi sebagai film maker untuk merasuk ke dalam sisi intim kehidupan Denok dan Gareng, sehingga mengijinkan penonton untuk mengintip (voyeur) melalui sela-sela tersebut, hingga mampu membawa penonton untuk menikmati, berempati, tertawa, dan menangis melalui mata kamera.

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*