Jogjanews.com -“Bulan Bahasa UGM 2014” yang diselenggarakan oleh Fakultas
Ilmu Budaya UGM di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM dari Bulan September
hingga November 2014.
Pada acara “Bincang-bincang Stand
Up Comedy,” Dihadirkan dua narasumber dengan dua latar yang berbeda yaitu
Prof. I Dewa Putu Wijana dan seorang Comic Anang Batas guna membahas
seluk beluk Stand Up Comedy di Indonesia.
“Bahasa adalah sebuah produk
kebudayaan yang paling jelas menampakan karakter sebuah kebudayaan, oleh
karenanya pengkajian pada unsur kebahasaan menjadi hal ikhwal yang sangat utama
dalam pengkajian kebudayaan,” tutur Putu (21/11/14).
Dalam bincang-bincang yang hangat,
ilmiah, dan penuh kelakar ini, Prof. Putu juga menampikan adanya pandangan yang
menyatakan bahwa permainan bahasa adalah kekanak-kanakan dan tidak ilmiah,
niscaya pada tiap jaman permainan bahasa nyatanya berperan penting dalam
penyampaian informasi, oleh karenanya tidak dapat kita nisbikan begitu saja.
Permainan bahasa berperan serta
dalam Naskah-naskah Shakespere pada jaman Elizabeth, ketidakpahaman akan
permainan bahasa bahkan dapat begitu berbahaya, hingga digambarkan dapat
menjadi faktor kuncinya kekalahan Arya Penangsang yang sering ditampilkan dalam
lakon-lakon sandiwara ketoprak.
Dalam kesempatan ini, Anang Batas
juga menyampaikan gagasan menariknya tentang perbandingan ketoprak modern dan
tradisional/lokal. Rule of three, yakni hubungan antara set up berisi
beat beat dan diakhiri dengan punch dalam comedian modern/comic
sama dengan “tek-tek-ger” dalam komedi lokal, yang mana tek sama
halnya dengan set up dengan beat di dalamnya, kemudian ger itu
sendiri adalah punch. Perbedaan diantara keduanya dipaparkan oleh Anang
sebagai berikut, “Kalau pada stand up comedy ada teknis-teknis/teori
yang menjadi acuan, makanya menulis konsep menjadi penting sekali, skill menjadi
yang utama, sedangkan pada komedi lokal tidak ada teori acuan, rasa, bakat, dan
fitrah menjadi yang lebih utama.”