Selasa, 16 Desember 2014

Mozaik 3





Reporter: Brian Trinanda

Jogjanews.com-Pembelajaran terpenting yang mampu didapatkan dari menyaksikan film “Denok dan Gareng” karya Dwi Sujanti Nugraheni ialah pemahaman mengenai bagaimana sebuah perspektif kehidupan rakyat “pinggiran,” atau secara spesifik ialah perspektif objek (Denok dan Gareng) dalam memaknai kehidupan.

Hal ini sejalur dengan prinsip etnografi, yakni sebagai “sebuah pengalaman yang didapatkan melalui melihat” tutur Kiki Koesuma Kristi sebagai salah satu pengamat budaya yang dihadirkan dalam kegiatan diskusi dan screening film Etnografi yang juga merupakan salah satu kegiatan perayaan Dies Natalis ke-50 Jurusan Antropologi UGM yang digelar di di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta (21/11/14).

“Tak hanya menjelaskan subjek-subjek intim, namun sekaligus melihat konteks yang lebih luas,” ujar Zakky mahasiswa UIN YK yang turut bergabung dalam diskusi yang hangat tersebut.

Di samping itu, Kiki juga turut berpesan mengenai pentingnya diskusi lebih lanjut dalam mengkritisi pemunculan perspektif-perspektif baru dari film “Denok dan Gareng”, terutama menilik karya film tersebut sebagai film etnografis.

Terakhir, Dwi Sujanti Nugraheni merasa perlu mengingatkan bahwa dalam pembuatan karya dokumenter/etnografis semacam ini, rasa kebertanggung jawaban dan etika harus diutamakan. “Saya tidak ingin mengeksplor kemiskinan mereka, berikut pula Saya tidak ingin mengeksploitasi banyak hal ‘buruk’ di sekitar kehidupan mereka, Saya harus berpegang penuh pada kode etik dengan cara selalu meminta ijin terlebih dahulu, dari saat mengambil gambar, hingga nanti hasil perekaman dipresentasikan. Dengan cara itu, Saya ingin penonton merasakan apa yang Saya rasakan, ketika Saya masuk ke rumah mereka, serta belajar melalui mereka. Saya benar-benar berada di sana, masuk di dalam kehidupan mereka, tidak hanya meletakkan kamera!”, terang Dwi Sujanti Nugraheni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*