Reporter: Brian Trinanda
Jogjanews.com-Pembelajaran terpenting yang mampu didapatkan dari
menyaksikan film “Denok dan Gareng” karya Dwi Sujanti Nugraheni ialah pemahaman
mengenai bagaimana sebuah perspektif kehidupan rakyat “pinggiran,” atau secara
spesifik ialah perspektif objek (Denok dan Gareng) dalam memaknai kehidupan.
Hal ini sejalur dengan prinsip
etnografi, yakni sebagai “sebuah pengalaman yang didapatkan melalui melihat”
tutur Kiki Koesuma Kristi sebagai salah satu pengamat budaya yang dihadirkan
dalam kegiatan diskusi dan screening film Etnografi yang juga merupakan salah
satu kegiatan perayaan Dies Natalis ke-50 Jurusan Antropologi UGM yang digelar
di di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari no.1 Yogyakarta
(21/11/14).
“Tak hanya menjelaskan subjek-subjek
intim, namun sekaligus melihat konteks yang lebih luas,” ujar Zakky mahasiswa
UIN YK yang turut bergabung dalam diskusi yang hangat tersebut.
Di samping itu, Kiki juga turut
berpesan mengenai pentingnya diskusi lebih lanjut dalam mengkritisi pemunculan
perspektif-perspektif baru dari film “Denok dan Gareng”, terutama menilik karya
film tersebut sebagai film etnografis.
Terakhir, Dwi Sujanti Nugraheni
merasa perlu mengingatkan bahwa dalam pembuatan karya dokumenter/etnografis
semacam ini, rasa kebertanggung jawaban dan etika harus diutamakan. “Saya tidak
ingin mengeksplor kemiskinan mereka, berikut pula Saya tidak ingin
mengeksploitasi banyak hal ‘buruk’ di sekitar kehidupan mereka, Saya harus
berpegang penuh pada kode etik dengan cara selalu meminta ijin terlebih dahulu,
dari saat mengambil gambar, hingga nanti hasil perekaman dipresentasikan.
Dengan cara itu, Saya ingin penonton merasakan apa yang Saya rasakan, ketika
Saya masuk ke rumah mereka, serta belajar melalui mereka. Saya benar-benar
berada di sana, masuk di dalam kehidupan mereka, tidak hanya meletakkan
kamera!”, terang Dwi Sujanti Nugraheni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar