Minggu, 24 November 2013

Peran Etnomusikologi dalam Mendorong Pemahaman Multikulturalisme di Indonesia



Peran Etnomusikologi dalam
Mendorong Pemahaman Multikulturalisme di Indonesia


Kebudayaan adalah manifestasi dari nilai-nilai.
Ia memiliki kekuatan membangun karakter sebuah bangsa,
Membangun karakter manusia orang per-orang.
(Sambutan Dewan Kesenian Jakarta, Ratna Sarumpaet, pada Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia. Papua, 22-27 Agustus 2005).


I. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah Negara yang sangat kaya akan sumber daya, dan menakjubkan. Salah satu kekayaan itu adalah keberagaman seni dan budaya ‘asli’ Indonesia. Tiap etnis yang tersebar dari sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang bermacam-macam dan khas. Dalam bentuk konkretnya keberagaman tersebut nampak dari rumah-rumah adat, pakaian, adat istiadat, tarian, musik, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Masyarakat Etnis Sumatera memiliki kesenian yang berbeda dengan masyarakat etnis Papua, begitu pula kesenian-kesenian tradisional lainnya yang ada di berbagai macam kelompok etnis di Indonesia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Keberagaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia.       
Keberagaman budaya seperti ini merupakan kekhasan bangsa Indonesia, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, misalnya ialah Negara-negara di belahan benua Eropa yang cenderung monokultural, seperti Inggris, Belanda Spanyol, dan sebagainya. Indonesia sebagai Negara yang multikultural tentu saja memiliki permasalahan serta penangannya tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan Negara monokultural. Selama ini, pemahaman mengenai Indonesia sebagai Negara multikultural masih kurang, terbukti dalam pendidikan formal yang berlaku di berbagai instansi-instansi pendidikan di Indonesia masih menerapkan pendidikan yang cenderung mengarahkan siswa-siswanya untuk memahami kebudayaan-kebudayaan tertentu saja, seperti yang terjadi dalam pendidikan seni. Pendidikan seni di Indonesia, seakan-akan mengacu pada satu standarisasi materi, sebagai contoh ialah materi pembelajaran musik yang ditemui di buku-buku ajar yang isinya cenderung mempelajari beberapa musik tertentu di Indonesia, khususnya musik Jawa. Fenomena tersebut menyatakan secara tersirat terjadinya ‘kolonisasi budaya’ atau timbulnya hegemoni budaya, seakan-akan budaya yang dimiliki oleh Indonesia hanyalah ‘itu-itu saja’—Jawa. Coba bayangkan bilamana bahan ajar tersebut digunakan di daerah-daerah lain di luar Jawa, sedangkan budaya-budaya lainnya di luar Jawa—yang tentu saja masih banyak lagi—tidak diajarkan di Jawa. Selain itu juga pembelajaran musik di Indonesia kebanyakan masih menggunakan materi ajar ‘musik barat’, mengapa tidak musik-musik dari Indonesia yang digunakan sebagai materi ajar?         
Multikulturalisme yang dimiliki oleh Indonesia pada dasarnya adalah kekuatan yang harus diperkuat dan dipertahankan, namun di sisi lain juga menjadi kelemahan. Dengan adanya multikulturalisme menuntut kita untuk lebih memahami akan pentingnya keseimbangan serta keselarasan dalam kehidupan. Selain itu multikulturalisme adalah suatu keindahan yang menawan, yang berpotensi menjadi daya tarik atau meningkatkan ‘nilai jual’ Indonesia di mata dunia. Namun, multikulturalisme bisa pula menjadi ancaman bagi integrasi bangsa Indonesia. Sekat-sekat rapuh akibat kurangnya komunikasi antar budaya dapat dengan mudah menimbulkan perpecahan. Efek yang ditumbulkan dari perpecahan tersebut sangatlah banyak, baik runtuhnya perekonomian, goyahnya tatanan sosial, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, sangatlah penting bagi seluruh bangsa Indonesia memiliki kesadaran untuk memahami multikulturalisme.         
Kesadaran mengenai multikulturalisme bisa kita dapatkan melalui pembelajaran terhadap musik-musik tradisi Nusantara. Musik merupakan salah satu unsur kebudayaan yang melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, musik dapat pula menjadi identitas yang menunjukkan karakter suatu masyarakat.  Sebagai contoh, masyarakat A menempatkan musik dalam suatu kegiatan budaya mereka dengan cara masyarakat A itu sendiri, sedangkan masyarakat B yang hidup lingkungan B menunjukan perilaku musik yang berbeda  dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat A. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam lingkungan-lingkungan etnik ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah-bangkitnya suatu kesenian—dalam hal ini musik[1]. Jadi, kelompok etnik yang berbeda akan melahirkan atau memunculkan bentuk-bentuk kesenian (musik) yang berbeda pula. Pembelajaran terhadap suatu tradisi musik mampu mendorong pemahaman terhadap suatu kebudayaan. Pembelajaran musik memiliki arti penting untuk mencapai pemahaman multikulturalisme di Indonesia, dengan mempelajari berbagai musik tradisi Nusantara dapat membantu meningkatkan pemahaman terhadap berbagai kebudayaan di Indonesia.     
Salah satu bidang ilmu yang dapat digunakan untuk mendorong pemahaman terhadap multikulturalisme ialah etnomusikologi. Etnomusikologi menekankan arti pentingnya pemahaman suatu kebudayaan lewat musik. Bidang etnomusikologi di Indonesia seharusnya memiliki peran yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan seperti yang tersebut di atas, namun sepertinya hal ini kurang disadari. Oleh karena itu, kita perlu memahami peran musik dan bidang etnomusikologi dalam menghadapi permasalahan multikulturalisme di Indonesia.  
Berdasarkan studi pustaka mengenai data-data terkait permasalahan bidang etnomusikologi yang meliputi tetang apa itu etnomusikologi serta bagaimana prinsipnya; dihubungkan dengan data-data terkait multikulturalisme, bagaimana multikulturalisme di Indonesia, mengapa multikulturalisme perlu dipahami dalam konteks keindonesiaan, serta bagaimana musik dapat digunakan sebagai medium untuk mendorong pemahaman multikulturalisme; kemudian diperlengkap dengan pengalaman empirik penulis sebagai praktisi studi etnomusikologi yang dipaparkan dalam makalah ini, kita akan mencoba mengkupas lebih dalam mengenai bagaimana musik dapat digunakan sebagai medium untuk mendorong pemahaman multikulturalisme, serta bagaimana peran etnomusikologi digunakan untuk menghadapi permasalahan multikulturalisme di Indonesia?



II. TINJAUAN UMUM


1. Memahami Multikulturalisme

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan, menurut Parsudi Suparlan[2] akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Dalam konteks ini kebudayaan dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Etika  Multikulturalisme  adalah  konsep yang mampu mengartikulasikan dimensi  aksiologis kebenaran kultural dengan tidak membunuh” pluralitas kultural.[3] Artinya, keberagaman di Indonesia seharusnya dikedepankan tanpa menghilangkan nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing kebudayaan.
Konsekuensi kemajemukan budaya pada dasarnya merupakan bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Oleh karenanya, puralitas  menjadi suatu kodrat dari kehidupan yang tidak mungkin ditiadakan. Manusia dilahirkan di dunia ini dengan beragam bentuk, dengan berbagai macam warna kulit, berbagai ragam bahasa, serta suku bangsa—yang mana bukanlah hak manusia untuk meminta dalam wujud seperti apa dia dilahirkan. Kesadaran akan hal tersebut, yakni kesadaran    budaya,    yang    berupa    penghargaan    atas kemajemukan budaya, merupakan poin utama dalam pebelajaran multikulturalisme. Dalam konsep multikulturalisme tersirat pula arti pentingnya pemahaman akan relativisme budaya, yakni bahwa dalam mempelajari atau menilai sebuah kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan kita (pengamat, penilai, atau peneliti), harus diusahakan agar kita tidak terpengaruh oleh prakonsepsi kebudayaan kita sendiri.[4]


2. Bagaimana Multikulturalisme di Indonesia

Indonesia adalah Negara yang sangat kaya. Salah satu kekayaan tersebut ialah kekayaan budaya Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai merauke, secara Etnik, Indonesia terdapat 358 suku bangsa san 200 sub suku bangsa. Kondisi geografis di Indonesia yang terdiri dari berbagai kepulauan—yakni terdiri atas 13.667 pulau baik yang dihuni maupun yang tidak—menyebabkan kurangnya interaksi  antarbudaya, hal ini bisa jadi merupakan satu alasan lain yang menjadi penguat timbulnya keberagaman di Indonesia—selain faktor keturunan/ras/suku bangsa. Kondisi tersebut di atas menyebabkan Indonesia memiliki multi bahasa, pada tiap-tiap daerah di Indonesia berkembang bahasa daerah yang bermacam-macam. Begitupun dalam hal agama di Indonesia juga memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara yang multi agama, yakni terdapat beberapa agama (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia yakni: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1%, serta tidak menutup kemungkinan ialah adanya agama lain yang dipercayai oleh pengikutnya, namun belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Dalam bidang mata pencaharian Indonesia pun dapat dikatakan multi mata pencaharian, yakni terdiri dari masyarakat petani, nelayan, hingga pegawai kantoran. Selanjutnya ialah dalam bidang kesenian, Indonesia juga kaya akan kesenian, baik dalam bentuk karya seni rupa, drama, tari, maupun musik.
Sebagai salah satu contoh keberagaman budaya di Indonesia dapat dilihat dari contoh sebagai berikut: Provinsi Sumatera Utara ialah salah satu provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, terdiri dari 10 Kabupaten dan 4 kota, dengan luas wilayah 8.701.742 Ha (87.017,42 Km2), jumlah penduduk sebanyak 6 jutaan jiwa, dimana masing-masing daerah memiliki suku, bahasa, adat istiadat, dan kesenian yang beragam.[5] Contoh lain ialah provinsi Papua, dihuni oleh lebih dari 250 suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok pedalaman Papua. Masing-masing memiliki bahasa, sistem kekarabatan, sistem kepercayaan, serta pandangan hidup yang berlainan. demikian pula dengan legenda dan unsur-unsur seni dan adat budayanya.[6] Menurut Index of Irian Jaya Languages, yang disusun SIL (Summer Institute of Linguistics), terdidentifikasikan bahwa di daerah Papua terdapat 224 bahasa lokal yang golongan bahasanya dapat diklasifikasikan menjadi 31 kelompok bahasa, yaitu tobati, kwime, sewan, kauwerawet, ambai, puwi, turu, wondama, roon, hatam, mimika, arfak, karon, kapaur, wusiran, mee / ekari, moni, pasehem, ingkipulu, telifomin, awin, mandobo, auyu, sohur, boasi, jab, komoron, klader, jenan, serli, dani. Contoh-contoh di atas merupakan suatu gambaran dari sebagian kecil kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dari segi multi bahasa, jika dari satu provinsi saja—dalam contoh ialah provinsi Papua—teridentifikasikan terdapat 31 bahasa daerah, bisa dibayangkan betapa banyaknya bahasa daerah yang ada di seluruh provinsi di Indonesia, yakni meliputi 33 provinsi—sungguh luar biasa kayanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fakta sosial bangsa Indonesia yang tak dapat dipungkiri ialah keberagaman budayanya. Setiap individu di negeri ini hidup dalam lingkungan suku, agama, tradisi, dan bahasa yang berbeda-beda dan secara geografis terletak saling berjauhan. Keberagaman budaya menjadi karakter yang khas dengan nilai-nilai khas yang luhur dan menumbuhkan rasa bangga. Sayang sekali dalam realitasnya, kebanggaan terhadap kekayaan bangsa tidak cukup dihargai dan kurang disikapi sebagaimana mestinya.


3. Multikulturalisme Penting Dipahami dalam Konteks Keindonesiaan

Indonesia dapat diibaratkan sebagai ‘kembang setaman’, yakni bagaikan suatu taman yang berisikan banyak bunga. Indonesia memiliki beragam suku bangsa,  latar  belakang  agama,  latar  belakang  kultural,  yang  secara  fisik dipisahkan oleh wilayah geografis yang berbeda. Kemajemukan semacam ini, selain menjadi kekayaan tersendiri, juga dapat menjadi kerapuhan bagi bangsa Indonesia.
Pemahaman multikulturalisme, bila ditempatkan dengan porsi yang tepat, dapat menanamkan rasa saling memiliki antar-budaya, sehingga memungkinkan semakin kuatnya rasa persatuan, menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis serta saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Namun, tanpa dibarengi dengan pemahaman multikulturalisme, kemajemukan dapat memunculkan berbagai persoalan sosial. Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis. Sebagai contoh, banyak terjadi konflik sosial seputar ras, agama, serta golongan; Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, konflik Sampit dan Madura, bentrokan antara masyarakat Bugis yang ada di Papua, konflik agama di Palu, konflik Tidung dan Bugis yang baru-baru ini terjadi, kasus perselisihan agama antara Ahmadiyah dan oposisinya, pembakaran rumah-rumah ibadah yang dilakukan oleh umat beargama dengan umat beragama lainnya, munculnya rasa permusuhan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang memuncak pada tahuan 1998, dan berbagai kasus lainnya. Layaknya peribahasa yang mengatakan “lidi yag banyak dan bersatu susah untuk dipatahkan, namun lidi yang terpisah satu persatu sangat mudah untuk dipatahkan”, konflik sosial berbau SARA seperti ini tidak bisa dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Permasalahan-permasalahan seperti ini sebetulnya sangatlah kompleks, karena di dalam permasalahan-permasalahan tersebut tidak hanya dilatarbelakangi kasus perbedaan dan dominasi kultural, namun juga diperparah dengan kepentingan politik, serta rasa kecemburuan sosial dan ekonomi. Penanganan masalah-masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja, namun membutuhkan multi pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan ialah dengan menggunakan pendekatan budaya, yakni dengan cara menanamkan pemahaman multikulturalisme. Dalam pemahaman multikulturalisme, relativisme budaya merupakan bagian yang terpenting.
Kesadaran relativisme budaya antara lain bisa didapatkan melalui pengalaman budaya, misalnya dengan cara memperkaya apresisasi terhadap kesenian—mengapresiasi kesenian dapat mempertajam kepekaan, memperhalus rasa dan menanamkan rasa berempati. 



III. ANALISIS

1. Pembelajaran musik sebagai medium untuk mendorong pemahaman multikulturalisme

Salah satu bentuk seni pertunjukan Indonesia adalah adalah musik, yang kita sebut sebagai musik tradisional Indonesia. Musik tradisional yang lahir dan berkembang dalam etnis-etnis asli di Indonesia merupakan sebuah hasil kebudayaan yang dihadirkan tidak hanya untuk dinikmati atau sebagai hiburan semata-mata. Kesenian merupakan salah satu bagian dalam kehidupan masyarakat, dan selalu memiliki andil dalam aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Hal ini selaras dengan pernyataan Alan P. Meriam bahwa salah satu fungsi musik adalah sebagai ekspresi emosional,[7] Musik tradisional di Indonesia berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan-lingkungan etnik ini, adat atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan rebah bangkit-nya kesenian.[8] Persoalan paling mendesak dan krusial yang dihadapi masyarakat dan komunitas etnis saat ini adalah derasnya pengaruh budaya asing yang terjadi seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi. Akan tetapi, masalah yang lebih substansial sesungguhnya adalah semakin pudarnya kesadaran generasi muda di Indonesia untuk mengerti dan memahami budaya yang dimiliki.
Kebudayaan sebagai sebuah proses dalam perjalanannya selalu tumbuh dan berkembang. Kebudayaan dengan berbagai unsurnya juga bersifat adaptif dan dinamis, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan mereka, baik penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami (konsep relativisme budaya).  
Berkaitan dengan kesenian dalam konteks sosial dan budaya, maka tidak dapat dipisahkan antara musik tradisional dengan unsur-unsur yang melingkupinya, melainkan satu dan yang lainnya saling berkaitan, membentuk sebuah sistem. Ini mengisyaratkan bahwa musik memiliki hubung kait yang sangat erat dengan kehidupan budaya suatu masyarakat. Oleh karenanya, dengan mempelajari musik suatu budaya, maka kita dapat pula memahami kebudayaan secara umum dalam masyarakat tersebut. Melalui pembelajaran musik di luar budaya kita sendiri, diharapkan mampu merangsang tumbuhnya kesadaran mengenai relativisme budaya, yakni menuntun kita bagaimana melihat suatu budaya—dalam hal ini musik—tidak hanya berdasarkan pandangan kebudayaan sendiri, melainkan melihat dari sudut pandang budaya lain tersebut bagaimana mereka melihat musik yang mereka miliki.
Pembelajaran musik nusantara dapat dilakukan dengan mengacu pada teori multikulturalisme yang dikembangkan oleh Volk yang diadaptasi oleh Ki Hajar Dewantara. Kerangka berpikir dinamik tersebut dapat dipahami melalui model berikut:


Irian
Malaysia
Sulawesi
Jawa
Kalimantan
Sumatra
Fungsi    Lagu   Guru  musik dan seni lainnya   Perkusi   Tekstur   Harmoni   Wanita dan musik   Skala   Pemain   Notasi   Melodi   Stem   Nilai   Nyanyian   Irama   Pencipta   Bentuk   Timbre   Teks

Eropa
Amerika
Australia
China
Bali
NTT
Filiphina
Jepang
India
 












“Pendidikan Musik Multikultural”
Konsep pendidikan Musik Multikultural Ki Hajar Dewantara  Diadaptasikan Dengan Konsep Volk (Sumber: Nurhayati[9]).

Ki Hajar Dewantara mengadaptasikan konsep dinamik multikulturalisme Volk disesuaikan dalm konsep baru yang sesuai dengan kondisi di Indonesia, di dalam konsep tersebut menawarkan bagaimana pendidikan musik bisa digunakan sebagai alternatif pembelajaran multikultural yang disebut dengan “Pendidikan Musik Multikultural”, yang berisi materi-materi lebih dari satu perspektif kultural.
Menurut Nurhayati[10] konsep tersebut dapat dimaknai menjadi beberapa bagian. Pertama, mengarahkan pendidikan musik multikultural menuju pendidikan humanistik, yaitu pemikiran praktis untuk pemahaman diri melalui cara ‘memahami yang lain’. Selama ini sepertinya pendidikan musik belum mencapai tujuan tersebut di atas. Hal ini terlihat dari berbagai bahan ajar pendidikan musik yang hanya mencakup beberapa budaya musik tertentu. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam buku “Kreasi Seni” untuk kelas X SMA terbitan Ganeca.[11] Jika kita cermati, dalam buku tersebut sebenarnya sudah terlihat upaya untuk menuju kepada pembelajaran musik multikulturalisme, namun masih belum cukup mewakili berbagai musik yang ada di Indonesia. Bahasan mengenai musik Jawa terlihat masih mendapatkan porsi yang cenderung lebih banyak, jika dibandingkan dengan materi untuk musik-musik nusantara lainnya. Ironisnya, materi ajar musik Barat yang bukan musik tradisi nusantara justru mendapatkan porsi yang jauh lebih banyak; bahkan bila dibandingkan materi ajar musik jawa. Hal ini dapat terjadi karena dua kemungkinan, yakni karena memang disengaja seperti itu, atau karena memang sumber yang dimiliki baru mencakup materi sejauh itu saja. Bilamana permasalahannya ada pada alasan kedua, berarti pengumpulan data-data terkait materi ajar musik nusantara perlu ditingkatkan atau diperkaya.
Materi ajar yang disampaikan kepada siswa pada dasarnya berlandaskan pada suatu kurikulum pendidikan. Artinya, biarpun materi ajar sudah ada (sudah diperkaya), namun kurikulum yang sudah ditetapkan tidak mencakup hal tersebut, maka materi ajar tetap saja tidak bisa diimplementasikan.  Selain itu, tidak dapat terealisasikannya pembelajaran musik multikulturalisme hingga sekarang ini, mungkin saja dikarenakan kurang memahaminya penulis materi ajar terhadap kurikulum yang sudah diberlakukan. Jika permasalahan terletak pada alasan kurikulum yang berlaku, maka solusi yang harus dilakukan ialah bagaimana para penentu kurikulum seharusnya lebih banyak melakukan evaluasi serta pembenahan.
Kedua, mengembangkan pengajaran musik dari perspektif multikultural yang dimulai dari implementasi musik berbagai budaya di dalam kelas sampai pada perhatian terhadap wawasan dunia serta kebutuhan mempelajari berbagai budaya musik.[12] Konsep tersebut dapat direalisasikan dengan cara memberikan materi ajar musik berbagai budaya secara berurutan—dari yang paling dekat dengan lingkungan kebudayaan siswa hingga pada wilayah budaya yang jauh—kepada para siswa yang menempuh pendidikan, dari tingkatan pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Ki Hajar Dewantara, dalam praktik pendidikan semacam ini, membagi ruang lingkup pembelajaran ke dalam tiga tahapan; yang pertama ialah taman anak (masa wiraga 1-7 tahun). Dalam tahapan pertama ini, pembelajaran pengenalan multikulturalisme diarahkan kepada berbagai budaya musik yang paling dekat dengan lingkungan budaya di mana si anak tinggal. Sebagai contoh, pada taman anak di pulau Jawa diperkenalkan dengan budaya-budaya daerah yang ada di sekitar pulau Jawa, yakni meliputi Jateng, Jatim, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dll. Materi yang diajarkan dalam tahapan ini ialah materi yang sederhana, namun memberikan pesan-pesan moral, seperti halnya lagu-lagu anak yang berasal dari permainan anak.
Tahapan yang kedua ialah taman muda (masa wiraga-wirama 7-14 tahun). Dalam tahapan ini, materi ajar yang diberikan lebih diperluas cakupannya, yakni meliputi berbagai budaya daerah yang ada di Nusantara—Kalimantan, Bali, Malaysia, Jabar, Sumatra, Sulawesi, dll. Tahapan yang terakhir ialah taman dewasa (masa wirarama 14-21 tahun). Dalam tahapan ini materi yang diajarkan sangat luas, mencakup budaya-budaya musik yang ada pada tingkat global, yakni budaya-budaya musik yang ada di negara-negara lain, sebagai contoh Cina, Jepang, India, Belanda, Jerman, Amerika, dll.
Melihat urutan seperti tersebut di atas, terlihat bahwa siswa mulai dibiasakan dengan keberagaman sejak usia dini hingga ia dewasa. Siswa dididik untuk mempelajari berbagai budaya, dari hal terkecil yang dekat dengan kehidupan sehari-sehari, hingga keberagaman dengan kompleksitas yang paling tinggi, yakni pada tingkat global. Dengan demikian, selain dapat memperkaya wawasan dunia, pembelajaran dengan model tersebut dimaksudkan agar siswa mampu menempatkan dirinya di antara berbagai kebudayaan, menanamkan rasa kebanggaan terhadap kekayaan bangsa, serta menumbuhkan toleransi terhadap budaya lain sebagai cerminan dari sikap relativisme budaya.
Terakhir, Nurhayati[13] menyatakan bahwa selain dapat digunakan untuk mendorong pemahaman multikulturaisme, pendidikan musik nusantara juga dapat digunakan untuk memahami konsep musikal dari budaya lain untuk memberikan sumber-sumber improvisasi dan penciptaan yang lebih luas. Dalam menciptakan karya seni, tentu saja tidak lepas dari apa yang disebut dengan pengalaman estetis. Pengalaman estetis dalam pendidikan musik multikulturalisme dapat dicapai dengan cara membiasakan diri peserta didik untuk lebih terbuka serta toleran akan bunyi-bunyi baru melalui beragam musik yang berbeda. Pada akhirnya, ini dapat meningkatkan wawasan musikal yang lebih luas, serta menjadi rangsangan untuk menciptakan karya-karya yang inovatif.


2. Etnomusikologi dan Multikulturalisme di Indonesia

Bidang ilmu yang selama ini kita kenal dengan ‘etnomusikologi’ sebelum tahun 1950 dikenal dengan sebutan ‘musikologi komparatif’. Dalam perkembangannya Istilah musikologi komparatif dianggap kurang tepat, karena pada kenyataannya para pelaku bidang tersebut tidak membuat komparasi seperti yang dilakukan oleh orang lain, dan bahwa komparasi tersebut tidak tepat dan membahayakan.[14]

Di samping itu, istilah baru tersebut—etnomusikologi—mempunyai keunggulan untuk mengungkapkan keberadaan bidang studi dan konsep-konsep atau cita-cita para sarjana, ‘etnomusikologi’ dianggap lebih tepat dan lebih deskriptif dalam membuat rumusan tentang disipin dan bidang penyelidikannya daripada istilah lama ‘musikologi komparatif’.[15]
           
Objek studi dalam etnomusikologi ialah seluruh musik di  dunia, dengan menekankan kepada musik di luar budayanya sendiri, dari pandangan deskriptif dan komparatif. Oleh karenanya, dalam melakukan kerja etnomusikologi, sangat penting ditekankan kepada para etnomusikolog melihat suatu kebudayaan dari sudut pandang budaya itu sendiri (relativisme budaya). Merriam menyebutnya dengan “studi tentang musik di dalam konteks budaya”.[16]
Kebudayaan yang meliputi keseluruhan kompleks pengetahuan, keyakinan, seni (termasuk musik), moral, hukum, adat-istiadat, dan semua tindakan lain yang dilakukan oleh manusia, terangkai dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa musik tidak bisa lepas dari konteks kemasyarakatannya, seperti yang diungkapkan oleh Kunst sebagai berikut, “semua orang, dari kebudayaan apapun, pasti menempatkan musik mereka dalam konteks totalitas keyakinan-keyakinan, pengalaman-pengalaman, serta aktivitas mereka, yang tanpa ikatan-ikatan ini, musik tidak akan eksis”.[17]
Bidang etnomusikologi dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan multikulturalisme di Indonesia. Pemecahan-pemecahan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama ialah mengkontribusikan prinsip etnomusikologi, yakni sikap relativisme budaya, dalam pembelajaran musik. Pembelajaran musik yang didasarkan pada prinsip tersebut dilakukan dengan cara memberikan pemahaman-pemahaman bahwa musik yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Kedua ialah hasil kerja para etnomusikolog, yakni berupa pencatatan-pencatatan tentang berbagai budaya musik, khususnya budaya musik di Indonesia. Hasil-hasil pencatatan tersebut dapat digunakan sebagai dokumentasi keragaman budaya, sehingga budaya-budaya musik tersebut pada akhirnya dapat terus dipertahankan. Selain itu, hasil tersebut dapat pula digunakan untuk melengkapi materi ajar pembelajaran musik. Ketiga ialah dilihat dari bidang ilmu etnomusikologi itu sendiri, yang mana sejak awal bidang ini dipelajari pada dasarnya ialah memang digunakan untuk melakukan konservasi terhadap berbagai budaya musik. Selain itu, dengan mengadopsi berbagai macam disiplin bantu, bidang etnomusikologi semakin memperkuat analisisnya, sehingga bidang ini menjadi cukup relevan digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan budaya. Namun, tentu saja musik merupakan titik tolak utama dalam kinerja etnomusikologi—hal ini untuk membedakan bidang etnomusikologi dengan bidang sosial maupun humaniora yang lainnya.
Bila kita tilik kembali, hasil studi para sarjana etnomusikologi Indonesia sejauh ini sudah cukup banyak. Bidang etnomusikologi dapat ditemui sebagai jurusan di sejumlah perguruan tinggi, antara lain di Universitas Sumatera Utara, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Insonesia Surakarta, Universitas Pelita Harapan, dan Institut Kesenian Jakarta. Selain itu, pembelajaran etnomusikologi juga dapat dijumpai dalam kurikulum pembelajaran di beberapa sekolah tinggi seni dan universitas pendidikan yang memiliki jurusan kesenian yang ada di Indonesia sebagai mata kuliah, misalnya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan Universitas Negeri Yogyakarta.
ISI Yogyakarta sebagai salah satu lembaga yang menaungi bidang kajian etnomusikologi yang berada di Indonesia, selama ini sudah menghasilkan begitu banyak hasil pendokumentasian mengenai musik-musik yang ada di Nusantara kususnya di Indonesia. Hal tersebut terbukti dari berbagai skripsi mahasiswa etnomusikologi yang begitu banyak, telah mencakup—ataupun setidaknya mewakili—semua etnisitas atau suku bangsa yang ada di Nusantara.
Berikut ialah sebuah gambaran hasil penelitian sarjana etnomusikologi Indonesia[18]:
…Formasi ansambel musik dalam sebuah pertunjukan Yospan tidaklah baku, terutama dari jumlah instrumen. Kendatipun demikian, sejauh pengamatan yang dilakukan, susunan instrumen yang harus ada—membentuk formasi standar—adalah gitar, ukulele, tifa dan stembass (juga lazim disebut stringbass). Dalam perkembangannya, instrumen-instrumen tambahan mulai dimasukkan, antara lain mamurang (sejenis kentongan bambu), kelambut (sejenis lesung), dan suling (suling horizontal). Hal ini mengindikasikan bahwa musik dalam Yospan telah mengalami perubahan pada aspek internalnya.
                        Instrumen gitar  dan ukulele yang digunakan dalam Yospan adalah gitar dan ukulele  pada umumnya. Dalam formasi musik Yospan, gitar dan ukulele berfungsi memainkan rhythm, bukan melodi. Selain itu, jumlah kedua jenis instrumen pun tidak memiliki ketetapan yang baku. Jumlah ini bisanya sangat tergantung pada jumlah pemain yang ada, serta juga kebutuhan akan pementasan. Instrumen lain dalam formasi ansambel musik Yospan umum disebut dengan stembass. Ini merupakan instrumen chordophone dengan ukuran terbesar dalam ansambel musik Yospan. Dengan ukuran ruang resonansinya yang besar, tidak mengherankan apabila instrumen ini memiliki suara yang paling rendah dalam formasi ansambel ini. Instrumen ini memiliki dua utas dawai yang terbuat dari nilon. Steman dawainya berturut-turut dari yang kecil ke yang besar adalah A-D, pada papan pencetnya (fingerboard) tidak menggunakan fret (fretless). Untuk memainkan, bass diletakkan dengan posisi tidur di atas lantai, sehingga pemainnya berada dalam posisi jongkok. Pemain bass biasanya menggunakan sarung tangan pada tangan yang memainkan nada-nada pada papan pencet. Umumnya stembass dimainkan dengan cara dipetik langsung dengan menggunakan jari, meskipun terkadang juga dimainkan dengan cara dipukul—senarnya—dengan menggunakan sebatang kayu yang berdiameter kira-kira sebesar jari telunjuk. Instrumen lainnya, tifa, merupakan instrumen musik khas Papua yang umumnya tersebar di wilayah-wilayah pesisir Papua. Instrumen ini termasuk dalam golongan instrumen membranophone. Tifa berbentuk seperti jam pasir (hourglass), yaitu mengecil pada bagian tengahnya. Membran tifa terbuat dari kulit soa-soa, salah satu jenis hewan reptil yang umum hidup di daratan Papua.
                        Lagu-lagu dalam Yospan sambung-menyambung dari awal hingga akhir, membentuk sebuah medley. Syair-syairnya berbahasa Indonesia (khusus untuk mengiringi gerak Yosim), dan lagu dengan syair berbahasa daerah Papua (untuk mengiringi selain gerak Yosim). Lagu-lagu ini terdiri dari berbagai tempo dan meter. Umumnya lagu dalam kesenian Yosim Pancar bertemakan ungkapan kasih sayang, percintaan, kehidupan sehari-hari, keindahan alam, dan lain sebagainya, dan hal ini terkait erat dengan Yospan sebagai seni pergaulan…

Notasi 9. Transkripsi lagu Aro Mamae dari Waropen
(Transkripsi: Nathalian H.P.D.P.)

           
Catatan ringkas di atas merupakan sebuah gambaran mengenai salah satu musik tradisi Identitas daerah Irian Jaya (Papua), yang disebut dengan Yospan (Yosim Pancar). Melalui bukti pendokumentasian di atas, dapat kita ketahui bahwa terdapat musik tradisi di Papua yang memiliki ciri khas tersendiri bilamana dibandingkan dengan musik-musik tradisi pada daerah lain di Nusantara. Berdasarkan adanya informasi dari hasil pendokumentasian tersebut, maka dapat dilakukanlah konsep “pendidikan musik multikultural Ki Hajar Dewantara” pada tahap pertama, yakni tahapan taman anak (masa wiraga 1-7 tahun). Pendidikan musik di wilayah Papua dapat dilakukan dengan materi ajar berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, sebagai pembelajaran pengenalan multikulturalisme paling awal, dengan diarahkan kepada pengenalan berbagai budaya musik yang paling dekat dengan lingkungan budaya di mana si anak tinggal. Selain itu, informasi tentang musik Yospan (Papua) juga dapat mendukung dilakukannya konsep “pendidikan musik multikultural Ki Hajar Dewantara” pada tahapan kedua, yakni tahapan taman muda (masa wiraga-wirama 7-14 tahun). Dalam pendidikan musik di wilayah Jawa misalnya, musik Yospan dapat diajarkan, karena pada tahapan ini, materi ajar yang diberikan meliputi berbagai budaya daerah yang ada di Nusantara. Begitu pula pada wilayah Papua dapat diajarkan tentang musik Jawa, tentu saja setelah tahapan “taman anak”. Selain contoh di atas masih banyak lagi contoh kajian tentang musik nusantara baik berupa skripsi, maupun makalah, serta catatan-catatan yang telah dikerjakan oleh para etnomusikolog dan calon-calon etnomusikolog Indonesia lainnya yang bisa digunakan sebagai sumber informasi, sehingga untuk ke depannya pembelajaran musik di Indonesia tak hanya berorientasi pada pengenalan musik Jawa dan musik Barat saja, namun dapat mencakup semua etnis di Indonesia—atau paling tidak mewakili, sehingga pembelajaran musik untuk mendorong pemahaman multikulturalisme di Indonesia dapat direalisasikan. Salah satu contoh aplikasinya dapat kita lihat dalam bahan ajar Pendidikan Seni Musik IA untuk SMK terbitan LP2IP Gadjah mada, Yogyakarta, buku tersebut merupakan sebuah bahan ajar karya kolaborasi musikolog dan etnomusikolog. Bahan ajar tersebut diciptakan dengan mengacu pada prinsip pendidikan musik multikultural oleh Ki Hajar Dewantara, yakni tahapan yang terakhir taman dewasa (masa wirarama 14-21 tahun), dalam buku tersebut materi yang diajarkan sangat luas, mencakup budaya-budaya musik yang ada pada tingkat global, yakni budaya-budaya musik yang ada di negara-negara lain, sebagai contoh Cina, Jepang, India, Belanda, Jerman, Amerika, dll, bahkan dalam buku tersebut tidak hanya berisi bahasan secara deskriptif, melainkan mencakup pula masalah identifikasi musik, latar belakangnya, fungsi musik, tujuan pemntasan musik, hingga manfaat musik dalam kehidupan sehari-hari. Bahan ajar seperti ini layak untuk diapresiasi, serta sangat diharapkan mampu menjadi acuan bahan-bahan ajar yang lainnya.[19]
Penggunaan Studi etnomusikologi sebagai acuan yang melatarbelakangi pendidikan musik di Indonesia dirasa sangatlah tepat, menimbang berbagai alasan sebagai berikut, yakni prinsip-prinsip dalam etnomusikologi yang mampu menekan primodialisme, serta memperkuat sikap relativisme budaya; dilihat dari fleksibilitasnya, yakni tidak terikat pada suatu budaya musik tertentu yang menjadikan pembelajaran musik menjadi cenderung kaku; keterbukaannya akan berbagai bidang ilmu lainnya; apalagi melihat adanya banyak sumber informasi yang sudah dihasilkan oleh para sarjana etnomusikologi Indonesia, hal tersebut sangat layak dan penting untuk direalisasikan.



IV. KESIMPULAN

Etnomusikologi sebagai suatu bidang ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan mengedapankan pentingnya pembelajaran musik berbagai budaya untuk membangun sikap relativisme budaya. Di dalamnya terkandung makna bahwa melalui medium musik dapat digunakan untuk mempelajari budaya dalam suatu masyarakat. Di Indonesia sendiri, musik tersebar dimana-mana seperti halnya masyarakat pemilik musik tersebut yang tersebar di berbagai macam wilayah budaya, sehingga dengan sendirinya musik pun menjadi beraneka ragam pula, layaknya peribahasa ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Oleh sebab itu dengan mempelajari berbagai macam musik, secara tidak langsung kita telah belajar mengenali multikulturalisme, karena di dalam berbagai musik tersebut mengandung esensi dari multikultur, yakni keberagaman. Selanjutnya, yang paling penting ialah dengan cara mempelajari berbagai macam musik mampu menumbuhkan rasa kedekatan kita dengan berbagai macam budaya, sehingga mampu menimbulkan toleransi, rasa saling memiliki, saling menghargai, dengan demikian memunculkan kesadaran pemahaman arti penting multikulturalisme, yakni tak hanya beragam (majemuk), namun bagaimana dapat menumbuhkan semangat kebersamaan dalam keberagaman membangun Kebhineka tunggal ika-an Indonesia.

                                                   
DAFTAR PUSTAKA


Charis, Ahmad. 2003. “Membangun Kesadaran Etika Multikulturaisme di Indonesia.” Jurnal Filsafat Vol. 34, No. 2: 11-126.
Kaplan, David & Robert A. Manner. 2002. Teori Budaya. Terj. Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartono, dkk. 2007. Kreasi Seni dan Budaya untuk SMA kelas X. Jakarta: Ganeca.
Krader, Barbara. 1995. “Etnomusikologi,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mansoben, Josh. 2005. “Posisi Kesenian dalam Pembangunan Nasional Problematika di Provinsi Papua,” Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua.
Merriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North-western University Press.
            . 1995. “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Nettl, Bruno. 2005. The Study of Ethnomusicology: Thyrty-one Issues and Concept. Urbana & Chicago University of Illinois Press.   
Nurhayati, Diah Uswatun. 2011. “Gagasan Multikulturalisme Ki hajar Dewantara Dalam Pendidikan Musik Tamansiswa Yogyakarta”. Makalah diseminarkan dalam Progress II Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Makalah tidak diterbitkan.
Oesman, Syahrial. 2005. “Kebijakan Pemerintah dan kemitraan Dewan Kesenian Sumatera Selatan dalam Pembinaan dan Pembangunan Seni Budaya di Sumatera Selatan, ” Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua.
Prasetyo, Ayub & Nathalian H. P. D. Putra. 2008. Pendidikan Seni Musik IA untuk SMK. Yogyajarta: LP2IP Gadjah mada.
Putra, Nathalian Hasta Panca Dwi. 2009. “Kontinuitas dan Perubahan Musik: Kehidupan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musik di Papua” makalah diajukan dalam mata kuliah Teori Seni Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta. Makalah tidak diterbitkan.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
            . 1984. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses tanggal 2 Juni 2011.

           



[1]Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 52.
            [2]Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural (http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm, 2002), p. 100.      
[3]Ahmad Charis, “Membangun Kesadaran Etika Multikulturaisme di Indonesia.” Dalam Jurnal Filsafat (Vol. 34, No. 2: 11-126, 2003), p. 117.
[4]David Kaplan Robert A. Manner, Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 8.

[5]Syahrial Oesman, “Kebijakan Pemerintah dan kemitraan Dewan Kesenian Sumatera Selatan dalam Pembinaan dan Pembangunan Seni Budaya di Sumatera Selatan,” katalog Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua, 2005, p. 13.
[6]Josh Mansoben, “Posisi Kesenian dalam Pembangunan Nasional Problematika di Provinsi Papua,” katalog Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua, 2005, p. 30.
[7]Allan P. Merriam, The Anthropology of Music (Chicago: North-western University Press, 1964), p. 218.
[8] Edi Sedyawati, Loc.cit.
[9]Diah Uswatun Nurhayati, “Gagasan Multikulturalisme Ki hajar Dewantara Dalam Pendidikan Musik Tamansiswa Yogyakarta” makalah diseminarkan dalam Progress II Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2011, p. 16.

[10]Ibid., p. 15.
[11]Kartono, dkk. Kreasi Seni dan Budaya untuk SMA kelas X (Jakarta: Ganeca, 2007).

[12]Diah Uswatun Nurhayati, Loc.cit.
[13]Ibid.
[14]Allan P. Merriam, “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), p. 48.
[15]Ibid., p. 49-50.
[16]Ibid., p. 52.
[17]Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Thyrty-one Issues and Concept (Urbana & Chicago University of Illinois Press, 2005), p. 3.  
[18]Nathalian Hasta Panca Dwi Putra, “Kontinuitas dan Perubahan Musik: Kehidupan, Interaksi Budaya dan PerkembanganMusik di Papua”, makalah diajukan dalam mata kuliah Teori Seni Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta.. 2009, p.20-21.

[19]Ayub Prasetyo dan Nathalian H. P. D. Putra, Pendidikan Seni Musik IA untuk SMK, terbitan LP2IP Gadjah mada, Yogyakarta

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*