Minggu, 24 November 2013

GLOBALISASI MUSIK DALAM MEDIA STUDI KASUS: ANIS SHOLEH BA’ASYIN DAN ORKES PUISI SAMPAK GUSURAN



GLOBALISASI MUSIK DALAM MEDIA
STUDI KASUS: ANIS SHOLEH BA’ASYIN DAN ORKES PUISI SAMPAK GUSURAN
Oleh: Brian Trinanda K. Adi

ABSTRACT
The emergence of a variety of cutting-edge media recently, which is characterized by the widespread of the internet using, also contributed to the onset of globalization, one of which is the dissemination (spread of). Effects of the new media has influenced in a various art groups, artists, and works of art. It was also shared by the group Orkes Puisi Sampak GusUran. Various things that have been experienced by the Orkes Puisi Sampak GusUran with the used of a variety of media—both, new media (internet technology) and conventional (manual) as a comparison—, we can review to get an idea of ​​how the role of technology on the globalization of media (spread of) for groups as well as works of art.
This Research, with a topic Globalization Music in Media, with group OPSG as objects, used a field work methodes, including interviews, questionnaires, focus group discussions, and observations. Then the laboratory methodes, includes the transcription of music, musicological analysis, transcription of interview, observation data processing, as well as sample processing.
Observation of group OPSG produce some description of OPSG art works shapes, judging from the background and the contribution of human resources, performance format, instrumentation, and terms of the making. Then, through the placement of objects in OPSG as a case study, based on the topics that have been presented, showing the fact that the media helped influence on the existence of an art groups. Used of Internet media gave an distribution impact to the OPSG art works in national to international scope. Otherwhise, in the local scope, the conventional media that is directly providing a more significant impact better than the used of the Internet media.
This study shows an overview of the two main things that are intertwined between the work of art as a result of a creation, and the use of media as a means of supporting existence, both for artists and arts groups.
Key words: Dissemination, Globalization, Media

A. PENDAHULUAN
Orkes Puisi Sampak GusUran (OPSG) ialah sebuah kelompok musik yang bergerak secara independent (indie label), dalam artian mereka tidak terikat dengan sebuah label industri rekaman tertentu (major label), melainkan melakukan segala sistem operasi managerial meliputi proses perekaman, pendistribusian karya, pementasan, dan lain-lain secara mandiri. Sebagai sebuah kelompok musik yang bergerak secara independent, tantangan yang dihadapi tentu jauh lebih berat. Pengelola kelompok tersebut harus mampu mempelajari serta terus menerus meng-update informasi mengenai seluk beluk persebaran musik, masyarakat musik, dan berbagai hal lain yang sangat kompleks berhubungan dengan keberlangsungan kehidupan kelompok musiknya agar terus dapat dinikmati oleh masyarakat pendukungnya. Berbeda halnya dengan kelompok-kelompok musik lainnya yang bernaung di bawah label industri musik (major label). Bagi kelompok musik seperti itu (major label), tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan eksistensinya tidaklah sebesar kelompok-kelompok musik lokal yang bergerak secara independent. Belum lagi mengingat faktor lokasi keberadaan OPSG sendiri yang berada di sebuah kota kecil yang notabene-nya cukup jauh dari  pusat industri kesenian,[1] yakni di kota Pati, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa tengah. Dengan lokasi yang kurang mendukung, perlu dilakukan pensiasatan yang benar-benar baik dalam menyikapi berbagai kesempatan agar terus mampu bertahan, pensiasatan terhadap penggunaan media internet adalah salah satunya. Itulah yang tengah dilakukan oleh kelompok OPSG sehingga menjadi salah satu sisi menarik di balik sebuah kelompok kesenian OPSG dari kota kecil Pati.
Tercatat dari 2005 hingga sekarang OPSG masih terus produktif berkarya. Produktifitas dari OPSG tidak terlepas dari keberadaan Anis Sholeh Ba’Asyin sebagai salah satu faktor kuncinya. Pentingnya keberadaan Anis Sholeh Ba’Asyin selaku pimpinan, penanggung jawab, manajer, serta fasilisator dalam kelompok OPSG menyebabkan hubungan diantara keduanya tidak dapat dilepaskan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dalam segi identitas/penamaan pun OPSG tidak bisa terlepas dari adanya nama Anis Sholeh Ba’Asyin. Baik dalam setiap publikasi maupun sampul album pasti tertorehkan identitas ”Anis Sholeh Ba’Asyin Orkes Puisi Sampak GusUran” sebagai nama kelompok.
Selain masih terus menghasilkan karya-karya baru, pementasan-pementasan dengan skala lokal maupun Nasional juga masih kerap mereka lakukan. Kelompok OPSGpun sudah merambah ke dalam panggung-panggung pertunjukan Nasional seperti halnya Bentara Budaya Jakarta sebagai salah satunya. Artikel terkait pementasan kelompok OPSG salah satunya dilansir dalam harian Kompas dengan tajuk  “Sampak Gusuran, Membaca Puisi dengan Cara yang Berbeda”.[2] Sampai sekarang kelompok OPSG juga masih rutin melakukan kegiatan-kegiatan di luar pementasan, yakni menyelenggarakan kegiatan apresiasi budaya yang dilangsungkan dalam bentuk dialog budaya. Kegiatan dialog budaya bernama Suluk Maleman tersebut sampai sekarang masih terus dilakukan setiap bulan dengan mendatangkan ahli-ahli serta tokoh dalam berbagai bidang. Tokoh-tokoh yang pernah diundang untuk menghadiri even tersebut sebut saja Sudjiwo Tedjo, Cak Nun (Emha Ainun Najib), Gus Mus (KH. Mustofa Bisri), Rektor Undip (Universitas Diponegoro), Beben Jazz, dan lain-lain.
Prestasi kelompok OPSG yang lain ialah keberhasilan kelompok OPSG untuk terus bertahan mengikuti perkembangan jaman, salah satunya ialah dengan melakukan pemanfaatan teknologi media. Kesadaran akan pentingnya teknologi media merupakan suatu hal yang signifikan bagi siapa saja, terutama di era sekarang di mana ketergantungan akan teknologi serta informasi media telah menjadi sebuah kebutuhan pokok, menyentuh hampir setiap kehidupan masyarakat kontemporer. Kelompok OPSG merupakan salah satu kelompok kesenian yang dapat menjadi sebuah contoh kasus yang relevan sebagai sebuah gambaran mengenai bagaimana hubungan teknologi media terhadap sebuah kelompok kesenian. Pendapat tersebut didasari oleh adanya fakta-fakta yang menyatakan bahwa berulang kali kelompok OPSG mendapatkan penghargaan dari ajang-ajang kompetisi yang ada pada situs internet di tingkat internasional, serta berulang kali mendapatkan kesempatan pentas dari relasi yang terjalin begitu besar melalui internet, baik secara lokal, nasional, maupun internasional.
Kemampuan beradaptasi kelompok OPSG hingga mampu untuk terus bertahan mengikuti perkembangan jaman, terutama di tengah-tengah era perkembangan teknologi media yang ditandai dengan maraknya internet, tidak terlepas dari karya-karya dari OPSG itu sendiri yang menjadikan masyarakat menyukainya, serta peran media di dalamnya. Melalui studi kasus terhadap kelompok OPSG diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bagaimana hubung kait antara musik dengan fenomena globalisasi, yakni terjadinya diseminasi/persebaran, melalui adanya fenomena internet sebagai salah satu media penyebarluasannya.

B. RUMUSAN MASALAH

Garis besar permasalahan yang muncul pada latar belakang  dapat dituangkan ke dalam rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana keberadaan kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran (OPSG) dan bentuk karya-karyanya?
2.      Faktor apa yang menjadi daya tarik terhadap Orkes Puisi Sampak GusUran (OPSG)  bagi masyarakat pendukungnya?
3.      Bagaimana peran media internet terhadap eksistensi kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran (OPSG)?


C. TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keberadaan Orkes Puisi Sampak Gusuran secara mendetail, meliputi pula bagaimana bentuk karya-karyanya, bagaimana masyarakat pendukungnya, serta apa saja hal-hal yang mendorong ketertarikan terhadap Orkes Puisi Sampak GusUran bagi masyarakat pendukungnya. Kemudian akan dideskripsikan pula bagaimana peran media internet terhadap kelompok OPSG guna memahami fenomena globalisasi musik yang terjadi melalui media internet. Melalui pengamatan mendalam (studi kasus) terhadap kelompok musik Orkes Puisi Sampak GusUran diharapkan mampu menanggapi permasalahan mengenai seperti apa kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran, serta bagaimana karya-karyanya hingga kelompok tersebut dapat diterima dan disukai oleh masyarakat luas baik tingkat dari tingkat lokal, nasional, maupun internasional, kemudian bagaimana media internet dapat turut berperan dalam mendukung eksistensi kelompok OPSG tersebut.
            Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi yang memiliki dua dimensi manfaat, yaitu berkaitan dengan manfaat teori dan manfaat praktis. Kepentingan teoritis yang diharapkan dari studi terhadap kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran ialah sumbangan informasi dalam kaitan pemahaman-pemahaman yang lebih tajam terhadap konsep-konsep media komunikasi serta bagaimana musik dan masyarakat terlibat di dalamnya. Selain itu, studi terhadap bidang ini, diharapkan mampu menjadi sebuah referensi segar bagi perkembangan ilmu etnomusikologi—khususnya di Indonesia. Begitu pula sebagai pembuktian kemungkinan etnomusikologi sebagai salah satu disiplin ilmu yang relevan guna mencermati berbagai fenomena, baik permasalahan yang ada dalam budaya lama maupun mutakhir,—khususnya yang berkaitan dengan musik—dengan musik sebagai sudut pandang utama untuk melihat fenomena maupun permasalan yang jauh lebih luas di sekitarnya. Manfaat lainnya ialah sebagai manfaat praktis, yakni melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena ini, diharapkan dapat memberikan khasanah pengetahuan tentang peran media terhadap persebaran musik melalui media internet yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan para seniman terutama para musisi agar dapat mempublikasikan karya-karyanya dengan lebih baik.


D. TEORI DAN METODE
Kajian mengenai musik dan budaya internet yang hendak dilakukan dalam penelitian ini tidak terlepas dari studi etnomusikologi sebagai pijakan utamanya. Meskipun pada umumnya para etnomusikolog berorientasi konservatif, dimana mereka mengabaikan bentuk-bentuk perubahan dan lebih cenderung melindungi tradisi-tradisi musik.[3]
Merriam mengungkapkan bahwa etnomusikologi merupakan ‘studi musik dalam kebudayaan,’[4] bukan ‘studi terhadap jenis musik tertentu.’ Jadi, etnomusikologi adalah studi yang dapat mempelajari musik apapun, tetapi dalam konteks budayanya. Untuk lebih jauhnya bagaimana pengerjaan penelitian ini mengacu pula pada pendapat Merriam sebagai berikut, “Sebagai tingkah laku manusia, musik dapat dihubungkan secara sinkronik dengan tingkah laku lainnya, seperti drama, tari, agama, organisasi sosial, ekonomi, struktur politik, dan aspek-aspek lain.”[5] Hal ini mengindikasikan bahwa musik dan aspek-aspek atau tingkah laku lainnya dalam kehidupan manusia memiliki keterkaitan, sehingga pemahaman mengenai suatu kebudayaan tertentu dapat dicapai antara lain lewat studi terhadap musik dalam kebudayaan tersebut. Dengan demikian, berbagai dinamika perubahan yang dialami oleh sebuah kebudayaan sudah barang tentu akan terefleksikan pula dalam bentuk-bentuk musik—seni secara umum—yang ada dalam kebudayaan tersebut.
Mengacu pada pendapat Merriam, maka untuk memamahi fenomena globalisasi musik melalui internet yang kini marak terjadi dapat diketahui melalui studi terhadap musik dalam fenomena budaya tersebut pula. Musik dalam budaya tersebut salah satunya ialah karya-karya musik OPSG yang telah diunggah melalui jejaring internet. Mengacu pendapat yang diutarakan Merriam, maka penelitian yang dilakukan terhadap fenomena globalisasi musik melalui media internet dapat saja dilakukan, karena proses hubungan manusia terhadap media internet pun merupakan sebuah perilaku manusia, di mana di dalamnya manusia dan musik memiliki keterkaitan.
Metode utama yang digunakan dalam penelitian kali ini ialah menggunakan metode penelitian kualitatif. Perumusan Hal-hal teknis dalam penggunaan metode penelitian ini mengacu pada buku Handbook of Qualitative Research, karya Noorman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln (2009). Terutama dalam penggunaan studi kasus yang meliputi proses identifikasi kasus, penggalian minat instrinsik dan instrumental pada kasus, memahami keunikan situasi dan isu, teknik triangulasi, teknik perbandingan, pemilihan kasus, hingga pengambilan sampel dalam suatu kasus.
Dalam proses pengumpulan data, terutama untuk memahami sebuah fenomena musik perlu dilakukan sebuah penelitian lapangan, hal ini terkait pula pemahaman bahwa penelitian lapangan merupakan pekerjaan yang esensial dalam etnomusikologi. Penelitian lapangan dilakukan dengan mengacu pada model yang telah diajukan oleh Merriam untuk melakukan studi musik dalam kebudayaan—yakni penyelidikan terhadap konsep tentang musik, perilaku yang berkaitan dengan musik, dan bunyi musik itu sendiri. [6] Hasil-hasil yang diperoleh dari studi-studi lapangan ini kemudian dirangkum untuk mencapai suatu generalisasi terkait suatu fenomena musikal tertentu.
Penelitian lapangan yang dilakukan berdasarkan konsep Merriam dilengkapi dengan digunakannya pengamatan mendalam mengacu pada konsep John Baily,[7] seperti halnya dikutip oleh Nercessian[8] sebagai berikut.
“Salah satu pelajaran penting yang diajarkan Antropologi kepada etnomusikologi adalah pada pentingnya mencoba untuk memahami sesuatu dari sisi dalamnya. Menggali pandangan emiknya, pandangan masyarakat, pandangan aktornya, evaluasi, penjelasan, model, representasi; terdapat banyak terminologi untuk hal ini.”
Penggalian data terkait musik dalam dunia maya/internet yang diwakilkan oleh kelompok OPSG sebagai objek studinya merupakan sebuah penelitian yang tidak terlepas dari kajian media. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah pisau analisis media sebagai disiplin pembantu, pendekatan tersebut yang dirasa paling dekat ialah pisau analisis cultural studies etnografis meliputi pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan focus groups discussion. Dalam artikelnya Chris Barker[9] menjelaskan pendekatan ini sebagai berikut.
“Cultural studies etnografis terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam konteks ‘cara hidup secara keseluruhan’, yaitu dengan masalah-masalah kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas…
Cultural studies yang berorientasi pada media, etnografi telah menjadi kata kode bagi serangkaian metode kualitatif, termasuk pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan focus groups. Di sini ‘spirit’ etnografilah (yaitu pemahaman kualitatif atas aktivitas kultural dalam konteksnya).” 
Cakupan/Batas populasi dalam penelitian ini meliputi kelompok OPSG secara keseluruhan, karya-karya OPSG yang tersebar dalam berbagai media on-line, meliputi situs-situs file sharing music seperti halnya i-tunes; video-net seperti halnya YouTube; akun jejaring sosial semacam facebook serta twitter milik OPSG, portal kompetisi musik dalam bentuk chart semacam garage band, besonic, serta MP3.com.au; akun website OPSG baik blogspot maupun myspace.
Data-data yang terkumpul berupa berupa hasil observasi dan wawancara, ialah data-data terkait tentang OPSG, tentang ide gagasan kelompok itu sendiri; bagaimana awal mula kelompok tersebut; bagaimana proses kreasinya; proses manajerialnya meliputi proses manajerial acara, manajerial personel, manajerial pertunjukan, proses perekaman, kerjasama, hingga mekanisme pendistribusian karya serta dampak yang dirasakan; proses interaksi OPSG dengan masayarakat pendukungnya; kemudian proses interaksi yang dibangun oleh OPSG melalui media internet. Dalam sistematika penelitiannya mula-mula berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dirangkum ke dalam pertanyaan wawancara. Kemudian untuk pengamatan mendalam dilakukanlah observasi langsung, terutama sebagai pastisipan observer. Peluang untuk menjadi partisipan observer sangatlah besar, mengingat peneliti tercatat pernah sekali terlibat sebagai pemain aditional dalam kelompok tersebut. Selain itu dianalisa pula bagaimana hal-hal terkait media yang telah diakses. Mengenai analisa terhadap media peneliti melakukan studi lebih mendalam menggunakan teori-teori media, selain pada penggunaan teori media sebagai teori pembedah, data-data yang dikumpulkan juga berupa rangkuman dari analisis youtube kemudian follower serta pertemanan pada jejaring soial.
Data mengenai hubungan masyarakat Pati terhadap OPSG didapatkan melalui pembagian daftar pertanyaan serta melalui diadakannya FGD (Focuss Group Discussion). Metode ini dipilih dikarenakan melihat banyaknya jumlah informan, sehingga tidak memungkinkan dilakukannya pencarian data melalui wawancara. Penggalian data terhadap hubung kait masyarakat Pati terhadap kelompok OPSG ditujukan untuk mengetahui persebaran karya OPSG dalam lingkup lokal, serta bagaimana interaksi yang timbul di dalamnya, sebagai bahan perbandingan terhadap persebaran serta interaksi pada tingkat nasional maupun internasional.
Data musikologis merupakan hasil analisis yang merepresentasikan karakteristik karya-karya OPSG yang menjadi ketertarikan oleh masyarakat pendukungnya. Dengan menggunakan sampel salah satu karya OPSG yang paling diminati oleh masyarakat. Analisis yang dilakukan ialah analisis syair, organologi, susunan ansambel, serta aransemennya.


E. PEMBAHASAN
E.1. Proses Kekaryaan OPSG
Anis Sholeh Ba’Asyin dan Orkes Puisi Sampak GusUran, dua hal berbeda dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan, begitulah seperti halnya yang disampaikan oleh kedua arranger musik Orkes  Puisi Sampak GusUran, Deddy Taufiq[10] serta Yuli Agung.[11] Lantunan puisi Anis bukan hanya sekedar penampilan musikalisasi puisi seperti pada umumnya, melainkan dengan balutan komposisi musik yang kompleks layaknya sebuah penampilan orchestra menjadikan keunikan tersendiri bagi sajian puisi Anis, yang kian disebut pula dengan sebutan orkes puisi. Bersama OPSG, Anis tidak hanya “memusikan puisi” melainkan juga “mempuisikan musik”. Bagi Anis, semua lagu pada dasarnya adalah musikalisasi puisi, lagu dinyanyikan dengan syair, syair itupun puisi. Bahkan dalam tradisi timur (Oriental), Jawa misalnya, puisi memang disajikan dengan dilagukan dengan tembang-tembang, sehingga ada guru lagu dan lainnya. Namun, karena pada umumnya syair dalam tradisi timur teratur sekali, tersusun dalam kerangka-kerangka yang pasti, serta batas-batas yang sangat rigid; sedangkan puisi sekarang (modern) begitu bebas, bahkan tanpa urutan lagu, dengan syair yang juga bebas; oleh karenanya untuk diangkat ke dalam bentuk musik sangat dibutuhkan keahlian yang lebih. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Anis menyebut proses kreatifitas di dalamnya sebagai orkestrasi puisi, selain itu juga karena puisi-puisinya yang panjang dan digarap dengan tidak mengikuti pakem-pakem dalam penulisan syair dalam lagu pada umumnya.[12]
Untuk mendukung penyajian sebuah orkes, tentu saja dibutuhkan instrumen musik yang tidaklah sedikit, oleh karenanya hampir sebagian besar puisi dalam karya-karya OPSG digarap dalam balutan ansambel besar, bahkan dengan komposisi musiknya yang juga betul-betul disiapkan khusus untuk setiap puisinya.
            Alat-alat musik yang digunakan dalam kelompok OPSG dapat dibagi ke dalam empat kategorisasi  yang telah dikelompokan oleh OPSG menurut penggunaannya, yakni meliputi: alat band, gamelan, alat tiup, serta perkusi. Keseluruhan alat-alat musik tersebut ialah sebagai berikut:
Alat Band:
Gitar Elektrik                          : 2 buah
Gitar Akustik                         : 2 buah
Sitar                                        : 1 buah
Sape’ Kalimantan                   : 1buah
Banjo                                      : 1 buah
Cuk                                         : 1 buah.
Biola                                       : 1 buah
Bass Elektrik                          : 1 buah.
Keyboards                              : 1 buah.
Drum                                      : 1 set.
SPD                                        : 1 buah.
Gamelan:
Saron                                      : 2 buah
Demung                                  : 1 buah
Bonang                                   : 1 buah
Alat Tiup:
Kelompok suling
Terompet reog                        : 1 buah
Harmonika                              : 1 buah
Didgeridoo                             : 1 buah
Perkusi:
Marakaz                                  : 1 buah
Kabasa                                    : 1 buah
Jimbe                                      : 2 buah
Kendang Sunda/Jaipong: 1 set
Kendang Dangdut                 : 1 pasang
Kendang Jawa (Ciblon): 1 buah
Tabla                                       : 1 pasang
Kobel                                      : 1 buah
Udhu                                      : 2 buah
Mbira                                      : 1 buah
Terbang                                  : 6 buah
Marawis                                  : 4 buah
Banyak hal menarik dalam segi instrumentasi instrumentasi pada kelompok OPSG, salah satunya ialah adanya penggunaan instrumentasi gamelan. Gamelan yang digunakan dalam karya-karya musik OPSG ialah demung, saron, serta bonang. Dentuman karakter bunyi logam terdengar hampir pada keseluruhan karya OPSG. Dari ketiga jenis alat tersebut, demung dan saron adalah yang paling sering dimainkan, bonang baru sekali saja digunakan, yakni pada karya Suluk Sungsang.[13] Karakter bunyi logam pada gamelan ini difungsikan sebagai pembawa nuansa Jawa pada karya-karya OPSG.[14] Gamelan yang digunakan pun bukan seperti halnya gamelan yang ada pada ansambel karawitan, namun telah disesuaikan dengan kebutuhan dari OPSG itu sendiri, yakni gamelan dengan sistem diatonik yang dilaras menggunakan piano. Gamelan tersebut (demung serta saron) dalam satu rancakan terdiri dari sembilan nada, dengan urutan nada c#, d, e, f#, g, a, b, c#, D.

4 Sistem penggunaan gamelan dalam kelompok OPSG:

image
Gambar 1: Sistem 1 pada instrumen gamelan
dalam kelompok OPSG.
Sistem satu digunakan untuk memainkan lagu-lagu dengan tangga nada diatonik mayor. Sistem ini banyak digunakan terutama saat mengaransemen lagu-lagu bertangga nada mayor, dengan pengaplikasiaannya menyesuaikan kebutuhan komposisinya serta konsep acaranya. Karya OPSG sendiri yang menggunakan sistem tangga nada mayor diatonik tersebut saah satunya ialah lagu “Suluk Keselamatan”.

image
Gambar 2: Sistem 2 pada instrumen gamelan
dalam kelompok OPSG.
Sistem dua dengan menggunakan pendekatan sistem tangga nada pentatonik pelog nem dalam karawitan jawa paling banyak digunakan dalam karya-karya OPSG, diantaranya ialah pada lagu “Suluk Zaman Akhir”, “Suluk Sunyi”, serta “Suluk Munajat”.

image
Gambar 3: Sistem 3 pada instrumen gamelan
dalam kelompok OPSG.
Sistem tiga dengan menggunakan sistem tangga nada pentatonik dalam karawitan Jawa, masih cukup jarang digunakan dalam karya-karya OPSG. Penggunaan sistem ini baru digunakan dalam penggarapan karya-karya baru di luar album pertama, salah satu di antaranya ialah “Suluk Linglung” yang dibuat dengan bernafaskan nada-nada slendro Banyuwangi.

image
Gambar 4: Sistem 4 pada instrumen gamelan
dalam kelompok OPSG.
Pada sistem empat ini, bilah empat dengan nada G digantikan dengan nada G# (nada sorog). Bilah sorog dengan nada G# tersebut digunakan sebagai nada nem (6) sedangkan bilah di sebelahnya menjadi nada pi (7) atau nada barangnya. Sama halnya dengan sistem dua dan tiga yang mengacu pada pendekatan sistem pentatonik gamelan Jawa, namun karena keterbatasan bilah, tangga nada pelog barang pada sistem empat ini tidak lengkap, hanya mampu dimainkan dalam empat nada saja (tetratonik) yakni ro, lu, mo, pi, tanpa nada ji (1) nya, namun penggunaan tanda nada ini diperkaya dengan adanya nada nem (6) sebagai nada penghias dalam tangga nada ini. Karya OPSG yang dibuat dengan menggunakan sistem tangga nada pelog barang ialah lagu “Suluk Bersama Kita Gila”.
Selain banyaknya keragaman instrumen yang digunakan, karya-karya OPSG juga disajikan dalam berbagai bentuk garapan yang beragam, baik dalam segi genre musik, maupun mencomot berbagai macam idiom gaya musik, meliputi rock, dangdut, rap, sindenan dalam karawitan jawa, banyuwangi, keroncong, jazz, Arabian style, dan lain-lain.
Bagaimana bentuk keunikan garapan dalam kelompok OPSG dapat dilihat dalam analisis salah satu karya OPSG Suluk Zaman Akhir. Secara keseluruhan lagu atau “komposisi“ ini berbentuk 4 bagian dan diakhiri dengan coda. Masing-masing bagian dapat disimbolkan dengan penggunaan huruf A untuk bagian pertama, B untuk bagian kedua, C untuk bagian ketiga dan D untuk bagian empat. Bagian A berfungsi sebagai semacam “overture” yang pada hakikatnya sebagai pembukaan dan berwujud komposisi instrumental serta lebih dekat kepada “overture  zaman klasik” dimana umumnya hanya memainkan satu bagian dengan unsur tematik yang sama.[15] Bagian B dapat diasumsikan sebagai semacam “intermezzo[16] atau sisipan dalam keseluruhan lagu. Terdapat sisi “kontras” dalam bagian ini, baik dengan bagian sebelumnya maupun bagian sesudahnya yang terdengar maupun terlihat jelas dari jenis irama maupun dari segi instrumentasinya. Bagian C dapat dikatakan menjadi salah satu bagian inti dari keseluruhan lagu dimana peran vokal sudah terlihat mencolok dan terlihat dari berbagai pengolahan harmoni ataupun kerangka lagu dari bagian A serta “kompleksitas” timbre yang dihasilkan oleh tiap instrumen. Bagian D juga merupakan salah satu bagian inti dari keseluruhan lagu di lihat dari perspektif yang hampir sama dengan bagian C. Dalam bagian ini terdapat sisi kontras yang cukup nyata dari bagian-bagian sebelumnya dan dapat di lihat dari Tonal yang sudah mengalami perubahan.
Komposisi ini merupakan sebuah komposisi vokal-instumental dengan durasi sekitar 3 menit 51 detik dengan tempo moderato (1 ketuk=110). Kerangka harmoni komposisi ini adalah penggunaan Tonika D mayor (2 kruis) dan kemudian berubah ke D minor atau dengan kata lain mengalami modulasi ke Tonika paralel dari F mayor (1 mol). Akord-akord yang digunakan adalah D mayor yang berfungsi sebagai Tonika, Fis minor berfungsi sebagai Median atau Dominan Paralel, A mayor berfungsi sebagai Dominan, G mayor sebagai Sub Dominan dan D minor sebagai tonika baru hasil dari modulasi ke 1 mol (Tonika paralel F mayor). Terdapat beberapa jenis irama dalam komposisi ini antara lain irama pop/rock seperti pada umumnya yang dominan di sepanjang komposisi, irama swing yang terdapat dalam salah satu bagian dan irama funk yang sedikit  terasa lebih “nge-beat”. Secara umum tangga nada yang digunakan meliputi tangga nada diatonis mayor maupun minor walaupun unsur-unsur skala yang “menyerupai” pelog bem/nem sangat terasa dalam komposisi ini. Secara garis besar sukat 4/4 merupakan sukat yang digunakan dalam komposisi ini. Dari segi instrumentasi, komposisi ini terdiri dari beberapa instrumen beserta vokal antara lain:
a.    Demung: cenderung berfungsi sebagai salah satu instrumen/unsur pembentuk kerangka       harmoni yang bersifat mengiringi.
b.   2 Saron: Sama seperti halnya demung, cenderung berfungsi sebagai salah satu instrumen/unsur pembentuk kerangka harmoni yang bersifat mengiringi.
c.    Drum Set: berfungsi sebagai pengatur atau pembentuk irama.
d.   2 Gitar Elektrik: berfungsi sebagai pengisi melodi maupun pembentuk kerangka harmoni yang bersifat mengiringi.
e.    Bass Gitar: lebih berfungsi sebagai salah satu instrumen/unsur pembentuk kerangka harmoni yang bersifat mengiringi.
f.     Violin: berfungsi sebagai pengisi melodi maupun pembentuk kerangka harmoni.
g.    Keyboard: lebih berfungsi sebagai salah satu instrumen/unsur pembentuk kerangka       harmoni yang bersifat mengiringi.
h.   Vokal inti dimainkan oleh pria.
i.     3-4 Vokal pria yang berfungsi sebagai backing vocal.
j.     Vokal wanita yang berfungsi sebagai pengisi di salah satu bagian komposisi.




Penggunaan birama gantung pada awal komposisi:

Gambar 1. Birama Gantung pada Bagian Awal Lagu.


Pengunaan teknik ostinato:
Gambar 2. Teknik Ostinato.








Adanya sisi garap asimetris, dilihat dari ‘ekor’ fragmennya:

Gambar 3a. Dua fragmen yang asimetris: fragmen 1.

Gambar 3b. Dua fragmen yang asimetris: fragmen 2.

Penggunaan teknik diminusi (pengurangan) serta adanya pembentukan cantus firmus (pokok gending).
Gambar 4. diminuation of the value dan cantus firmus (pokok gending).

Harmoni kontrapungtal:
Gambar 5. Instrumen Guitar dan violin membentuk harmoni kontrapungtal.

Pada bagian ini terkesan adanya nuansa  jazzy karena penggunaan beberapa elemen-elemen inti pembentuk musik jazz antara lain irama swing[17] yang terasa dalam sinkopasi permainan drum. Adapun sinkopasi yang juga terasa dalam alunan vokal. Elemen lain dari musik jazz yang digunakan ialah teknik walking bass dengan tangga nada pentatonik yang “menyerupai” pelog bem.
 
Gambar 6. Sinkopasi dalam alunan vokal.

Gambar 7. Walking Bass.

Unsur gaya musik Rap, ditandai dengan teknik resitatifis (seperti orang berbicara).
Gambar 8. Alunan vokal resitatifis/seperti gaya orang berbicara.

Bagian D menjelang akhir komposisi memiliki “keunikan” tersendiri dan tidak terdapat dalam bagian-bagian sebelumnya yaitu terdapat unsur maupun kesan “bi-tonalitas[18] (bandingkan dengan musik beraliran impresionisme terutama dari komponis-komponis berkebangsaan Prancis) di mana dapat terlihat dari struktur nada antara instrumen saron, vokal, instrumen “band”, dan vokal wanita. Instrumen saron cenderung tetap memakai tonalitas D mayor,  vokal dan instrumen band memakai tonalitas D minor sedangkan vokal wanita cenderung memakai tonalitas F mayor.
Gambar 9. Bi-tonalitas.
Terlihat jelas pada gambar 9 bahwa instrumen saron bermain dengan tonalitas D mayor dikarenakan terdapat nada cis yang dalam tonalitas D mayor berfungsi sebagai leading tone dan nada fis yang berfungsi sebagai median. Nada-nada dalam instrumen gitar maupun pada vokal jelas merupakan kerangka harmoni yang membentuk akord D minor yakni nada d, f dan a. Terdapat nada g pada instrumen gitar, akan tetapi nada ini cenderung hanya sebagai “jembatan nada” untuk menuju ke nada f ataupun a. Sedangkan pada vokal wanita lebih mengarah kepada tonalitas F mayor. Hal ini dapat dilihat dari struktur nada yang meliputi dari yang terendah sampai yang tertinggi yakni nada f, g, a dan bes. Nada-nada ini merupakan tetrachord[19] pertama pada struktur tonalitas F mayor dan apabila kita mengacu pada nada yang dominan muncul yakni nada f dan a, maka dapat dikatakan bahwa pertautan antara nada ini mengacu pada formulasi harmoni pembentuk akord mayor karena menggunakan interval terts mayor.

E. 2. OPSG, MEDIA, DAN MASYARAKAT
Melalui pengamatan dari bentuk karya-karya OPSG didapatkan beberapa kemungkinan munculnya ketertarikan terhadap kelompok OPSG bagi masyarakat pendukungnya. Sisi ketertarikan yang pertama muncul dari aransemen musik dalam karya-karya OPSG yang disajikan dalam berbagai bentuk garapan yang beragam, dengan mengeksplorasi berbagai macam genre serta idiom musik, meliputi rock, dangdut, rap, sindenan dalam karawitan jawa, banyuwangi, keroncong, jazz, Arabian style, dan lain-lain. Kompleksitas bentuk garapan musik dalam karya-karya OPSG ini menjadi  salah satu alasan kuat yang mampu menarik banyak penikmatnya untuk menggolongkan sendiri ketertarikanya terhadap OPSG ini menurut perspektif mereka masing-masing. Nercessian melihat fenomena tersebut sebagai berikut:
“Makna sebuah karya seni dapat sama sekali berubah seperti halnya mereka berpindah dari komponis ke audiens, serta ke audiens lainnya yang sangat besar yang kemungkinannya berbeda kultur.”[20] Meskipun begitu, bukan berarti karya musik OPSG kehilangan kekuatannya, Nercessian melanjutkan sebagai berikut, “…kekuatan musik sungguh mengagumkan, di mana ketika maknanya merubah, tetapi kekuatan musik masih tersisa…”[21]
Pada karya yang sama, banyak komentar yang bermunculan dalam perspektif penilaian yang berbeda yang dapat menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi masing-masing penikmat. Sebuah contoh dapat kita lihat beberapa komentar pada situs Garageband terhadap karya Suluk Jaman Akhir sebagai berikut:
Strange kind of Beautifull
Sounds like Robbie Williams type cafe Pop come Arab glam-rock ...Interesting choice of percussion instrument, it differentiates the music immediately - clearly the work of a natural percussionist...I enjoyed the use of sampling displays an eclectic mix of tastes ...very progressive music...beautiful and strange!!
Extra Credit: Originality.[22]
Bongiwe Lusizi
Umnombokantu, Mdantsane, Eastern Cape, South Africa

 Interesting
..very strange, and bombastic overtüre...bells, violin...rock guitar... frank zappa like arranged parts... arabic singer...
interesting, original world fusion mix...
something like this I never heard before...
...p.s.: maybe the band tries to put too much elements into this song...
it sounds a bit, like Dubai or Abu Dhabi looks like...hightech and incredibly rich in the middle of desert and sand...
Extra Credit: Male Vocals, Beat, Originality.[23]
Andreas Ceska
Stromboli, Vienna, Austria
World Mix
Nice tutti at the intro (and all over the music) - a lot of energy coming from all instruments playing at same time.
Very soulful voice - Sorry, I can´t identify the language you´re using.
Nice guitar sounds, Liked also the percussion - but the sound can be a bit louder in the mix.
Congrats on arrangement - really a world mix - a lot of orient, central america, ocidental instruments, eletric guitar and many rhythms used brings many colours to the music.
Nice break at the end.
Henrique Matulis
Matulis, Sao Paulo, Brazil.[24]
Berikut dalam segi instrumentasi yang dihadirkan dalam karya-karya OPSG pun juga mampu menjadikan ketertarikan tersendiri bagi penikmatnya, di samping turut menunjukan penilaiannya terhadap OPSG dalam perspektif yang berbeda. Salah satunya ialah adanya unsur gamelan serta rebana yang mencirikan adanya penggabungan unsur Santri serta abangan. Seperti halnya apa yang disampaikan oleh Nurdin, sebagai seorang penggemar OPSG sebagai berikut. “Kelompok seperti ini bisa mempersatukan antara santri dan abangan di Indonesia, seperti apa yg diamanatkan oleh Gus Dur, karena keberadaan Negara Indonesia tidak terlepas dari adanya kedua unsur tersebut, yakni adanya santri dan abangan itu sendiri. Dalam kelompok OPSG, Gamelan dalah perwujudan dari adanya unsur abangan, sedangkan rebana adalah unsur santrinya”[25]
            Tidak hanya dalam lingkup lokal maupun Nasional, pilihan  instrumentasi pada kelompok OPSG juga banyak  menjadi sisi ketertarikan bagi penikmat-penikmat karya OPSG pada lingkup dunia/internasional. Sebagai contoh ialah komentar Ron D. Lim (Musisi, Produser, California, USA) Sebagai berikut, “This is real traditional music! Amazing, love all the instrumentations here! Original and fresh for us here in the USA such music is just not easily found! Thumbs up for your world music par excellence!”.[26] Di dalam komentarnya, Ron begitu mengagumi unsur-unsur instrumen tradisional yang digunakan oleh kelompok OPSG, di mana instrumen-instrumen tersebut begitu segar dan jarang ditemui bagi masyarakat USA.
Cara berfikir Anis dalam melihat pembangunan suatu bangsa atau apapun dalam arena globalisasi tanpa menutup diri untuk terpengaruh dari sisi manapun,  namun tetap dengan prinsip yang kuat untuk harus kembali ke akar, ke tanah bumi tempat kaki berpijak, telah berhasil membuat masyarakat dunia tertarik. Dengan cara berfikir semacam itu, Anis mencoba mengangkat tema-tema, serta warna-warna lokal meliputi warna-warna musik yang ada di Indonesia menjadi satu komposisi yang bisa diterima di manca negara, maupun di dalam negeri. Dengan mempertahankan kontinuitas antara yang tradisi dengan yang lebih modern, Anis beserta kelompok OPSG berhasil memunculkan taste, serta format yang berbeda dari kelompok-kelompok musik lainnya, hal inilah yang menjadikan ketertarikan bagi banyak kalangan. Bahkan, meskipun puisi musiknya secara keseluruhan banyak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, di mana masyarakat mancanegara belum tentu dapat memahami isi/kandungan di dalamnya, mereka tetap saja tertarik, meskipun dengan begitu seringkali Anis harus memberikan teks terjemahan dalam bahasa Inggris dari syair-syair/lirik tersebut.[27]
Alasan perbedaan sisi ketertarikan masyarakat penikmat musik OPSG di mancanegara dengan masyarakat lokal maupun nasional dimungkinkan melalui adanya pengaruh sosialisasi yang berbeda diantara keduanya. Proses terjadinya sosialisasi merupakan salah satu aspek penting dalam konsep habitus. Pierre Bourdieau, menunjukan bahwa semua pertimbangan selera, termasuk selera terhadap seni, dikendalikan oleh habitus yang diperoleh dengan cara yang khas. Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah, yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif.[28] Proses terbentuknya habitus sangat besar dipengaruhi oleh adanya sosialisasi. Maka perbedaan garis besar sosialisasi yang pernah dialami antara penikmat karya OPSG dari Indonesia dengan penikmat dari luar Indonesia sangat memungkinkan munculnya perbedaan persepsi makna dalam melihat karya OPSG.
Pendapat Pierre Bourdieau melengkapi pendapat Nercessian tentang kemungkinan perbedaan interpretasi makna antara komposer musik dengan audien, kemudian ditambahkan dengan adanya peran habitus yang ditimbulkan melalui perbedaan proses sosialisasi yang mempengaruhi masyarakat pendengarnya.
Leah A. Lievrouw menunjukan adanya keterkaitan yang kuat antara pola kehidupan masyarakat kontemporer sebagai imbas dari adanya perkembangan media baru:
“Kehadiran media baru tersebut kian pula memungkinkan adanya mediasi, dengan mendukung serta memfasilitasi aksi komunikatif dan representasi. Media baru tidak begitu saja menyela masuk melalui teknologi ke dalam proses komunikasi serta produksi informasi, melainkan juga kian menyebabkan munculnya tiga elemen dalam infrastruktur kehidupan manusia, meliputi: artefak (alfabet, jaringan listrik, keyboard dan mouse, sistem operasi, tombol telepon, kumpulan film, satelit, uang, dan lain-lain), perilaku (sikap, vokalisasi, tata cara telepon dan berkirim e-mail, bahasa, format naskah, ketikan, pertukaran data on-line, fashion, hukum kontrak, jadwal program televisi, blogging, dan lain-lain), aturan (seperti halnya keluarga dengan satu orang tua, label rekaman musik, memberi dan menerima, papan-papan film nasional, kampanye politik, komunitas jaringan-jaringan nasehat, studio film, dan lain-lain). Kombinasi dari berbagai macam cara mengakses, kegunaan dan isi, dinamika tiap poin dalam struktur networking, serta perasaan tiap orang yang interaktif di dalam penggunaan media baru merupakan gaya kontemporer, atau pola mediasi yang jauh berbeda dari apa yang dimungkinkan untuk dilakukan dalam media massa.”
Berbagai fenomena sebagai dampak adanya media baru yang telah digambarkan oleh Lievrouw cukup nampak mewarnai perjalanan karir kelompok OPSG. Salah satu diantaranya ialah bagaimana sebuah situs upload mp3 berhasil membawa OPSG hingga dikenal di seluruh dunia, bahkan mendapatkan berbagai penghargaan pada ajang-ajang kompetisi musik dunia.
Adapun award/penghargaan yang pernah didapatkan oleh OPSG melalui bebarapa situs kompetisi di internet ialah sebagai berikut:
a.    Track of the Day di GarageBand.com pada 10 September 2008 untuk Suluk Zaman Akhir
b.    Most Original in World Fusion di GarageBand.com pada 15 September 2008 untuk Suluk Zaman Akhir
c.    Track of the Day di GarageBand.com pada 29 November 2008 untuk Suluk Pintu Terkunci
d.    World Fusion Track of the Week di GarageBand.com pada 15 Desember 2008 untuk Suluk Zaman Akhir
e.    World Fusion Track of the Week di GarageBand.com pada 29 Desember 2008 untuk Suluk Pintu Terkunci
f.      Most Original in World Fusion di GarageBand.com pada 26 Januari 2009 untuk Suluk Pintu Terkunci
g.    Best Male Vocals in World Fusion di GarageBand.com pada 23 Februari 2009 untuk Suluk Pintu Terkunci
h.    Best Of World Fusion, urutan 38 dan 39 dari 100 komposisi World Fusion terbaik di I Tunes untuk Suluk Pintu Terkunci dan Suluk Zaman Akhir, mulai Juni 2010.
i.      Best World Fusion Group, urutan ke 4 dari 100, versi BeSonic.com
j.      Best World Music Group, urutan ke 16 dari 100, versi BeSonic.com
k.    Best World Music Group, urutan ke 56 dari 100, versi MP3.com.au
l.      Best World Music Song, urutan ke 4 sampai 11 dari 60, versi NoisyPlanet.com
m.  Nominator Prince Claus Award 2012
n.    Best World Music, urutan 3 dari 100, versi MP3.com.au
o.    Best Experimental Music, urutan 3 dari 100, versi MP3.com.au
“In cyberspace, we chat and argue, engage intellectual intercourse, perform acts of commerce, exchange knowledge, share emotional support, make plans, brainstorm, gossip, feud, fall in love, finds friend and lose them, play games and metagames, flirt, create a little high art and a lot of idle talk. We do everything people do when they get togheter, but we do it with words on computer screens, leaving our bodies behind. Million of us have already built communities where our identities commingle and interact electronically, independent of local time or location.”[29]
Pendapat Rheingold menunjukan bahwa melalui internet,  dapat terjadi berbagai macam bentuk hubungan interaksi masyarakat seperti layaknya dalam kehidupan nyata, dalam lingkup yang lebih luas, dalam waktu yang berlainan, serta lokasi yang jauh terpisah, meski hanya dengan menggunakan media kata-kata yang ditampilkan melalui layar komputer. Dalam hal pelayanannya, berbagai fasilitas yang ada pada situs-situs internet memiliki daya guna dan fungsi yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya, keberagaman inilah yang menjadikan setiap situs memiliki kelebihan serta keunggulannya masing-masing. Situs video sharing semacam YouTube misalnya, dapat difungsikan sebagai sebuah representasi bagi berbagai karya seni, terutama seni pertunjukan. Sebagai bentuk representasi, keberadaan YouTube mampu memperluas panggung pertunjukan bagi semua seniman yang ingin menampilkan karyanya dalam lingkup yang lebih luas, bahkan dapat dinikmati kapanpun juga. Beda halnya dengan situs jejaring sosial semacam Facebook ataupun Twitter, kedua situs tersebut didesain serta difungsikan sebagai media untuk menambah pertemanan serta mempermudah komunikasi. Bentuk layanan yang diberikan pun berbeda, pada situs Facebook misalnya, foto serta teks yang ditampilkan dalam bentuk fitur uploading foto (mengunggah), tagging (menandai) foto, updating status (memperbarui status), berkirim wall (dinding), serta messaging/chating (perpesanan dan obrolan), menjadi tampilan utama; lain hal dengan YouTube, dimana dalam situs tersebut video atau gambar berjalan disertai dengan audio menjadi tampilan utama. Kemudian e-mail, berbeda dengan jejaring sosial ataupun situs  video sharing, e-mail difungsikan sebagai media untuk surat-menyurat. Sifat e-mail cenderung satu arah, yakni tidak membuka akses masuk kepada akun yang tidak dikenal atau tidak ditujukan dalam pengiriman pesan. Pertukaran video dengan menggunakan e-mail akan sangat merepotkan, menghabiskan waktu, serta tidak efisien untuk kebutuhan publisitas, sangat berbeda dengan menggunakan YouTube. Dengan menggunakan YouTube video hanya perlu diunggah sekali, kemudian dengan mengkopi URL nya, siapa saja, bahkan akun tak dikenal sekalipun dapat mengunduhnya dengan mudah dan cepat, dalam sisi publisitas tentu saja jauh lebih efisien daripada menggunakan jasa e-mail. Meskipun dalam segi publisitas tidak memiliki fitur yang memadai, namun memiliki akun e-mail tetap sangat dibutuhkan, selain sebagai salah satu syarat pembuatan akun-akun pada berbagai situs, juga sangat berfungsi untuk mengirim serta menyimpan berbagai arsip penting.[30]
YouTube sebagai sebuah media video sharing yang mengutamakan tampilan video serta audio sebagai fitur unggulannya, mampu merepresentasikan kembali berbagai momen pertunjukan yang tak dapat terulang kembali dalam kehidupan nyata serta mengabarkan momen tersebut kepada seluruh dunia. Keberadaan YouTube sebagai situs video  sharing terpopuler dan terfavorit di seluruh dunia, dapat dimanfaatkan oleh para seniman dan kelompok seni pertunjukan untuk memamerkan serta menawarkan karya-karyanya kepada khalayak yang jauh lebih luas melingkupi seluruh dunia. Penggunaan YouTube sebagai salah satu media promosi juga telah dilakukan oleh OPSG. Sejak 2008 lalu, OPSG sudah memulai mengupload beberapa video pementasan yang telah dilakukannya melalui situs video sharing tersebut.
Pementasan OPSG di JHK (Jam’iyyatul Hujjaj Kudus) pada tanggal 6 April lalu yang diberlangsungkan atas inisiasi Nurdin Hidayat merupakan sebuah fenomena yang menunjukan peran YouTube terhadap eksistensi OPSG. Awal mula pertama kali Nurdin melihat OPSG ialah 3-4 tahun yang lalu, ketika OPSG tampil sebagai pengisi acara di Harlah NU ke 35. Pada waktu itulah Nurdin mulai menyukai kelompok OPSG, meskipun pada awalnya Nurdin juga memang sudah tertarik dengan kelompok-kelompok kesenian semacam ini yang ada di Jakarta, seperti halnya Cakranada dan Mahagenta. Diantara selang waktu 3-4 tahun paska melihat pertunjukan OPSG, Nurdin mulai semakin mengenal OPSG melalui kerabat-kerabat yang aktif di komunitas seni GRJS (Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, Bulungan) yang kebetulan juga berasal dari Pati, meskipun dalam selang waktu tersebut interaksi secara langsung antara Nurdin dengan kelompok OPSG terbilang cukup jarang.
Ketidaksengajaan Nurdin menekan huruf “S” pada keyboard hingga memunculkan nama Sampak GusUran ketika sedang melakukan browsing di YouTube mempertemukan Nurdin kembali dengan OPSG di dunia maya. Pada waktu itu Nurdin sebetulnya tidak berniat untuk melihat OPSG melalui YouTube, melainkan ingin mencari video dari kelompok musik Simply Red (sebuah group band soul asal Inggris), namun ketika sedang melakukan pencarian, nama Sampak GusUran (OPSG) tiba-tiba muncul di dalam daftar putar yang disarankan. Seketika itu pula Nurdin justru tak lagi mencari Simply Red, melainkan lebih tertarik terhada karya-karya OPSG. Waktu itu Nurdin membuka dan menikmati lima karya dari OPSG, salah satunya ialah Suluk Montang-manting, karya OPSG yang paling disukai olehnya.
Selama satu tahun setelah pertama kalinya melihat video OPSG di YouTube, beberapa kali Nurdin masih sering mengunjungi situs tersebut untuk melihat-lihat ulang karya OSPG, hingga tanggal 6 Juli diundanglah OPSG sebagai pengisi sebuah acara yang diadakan oleh keluarga besar Nurdin. Bagi Nurdin keberadaan YouTube itu sendiri sangatlah membantu dalam pelaksanaan acara kali ini, karena melalui YouTube tersebut Nurdin dapat dengan mudah memperlihatkan bentuk penampilan OPSG kepada anggota keluarga yang lain sebelum akhirnya mereka pun mulai menyukai dan menyetujui ide Nurdin untuk mengundang OPSG sebagai pengisi pada acara tersebut.
Selain penggunaan situs video sharing, situs jejaring sosial yang ditujukan untuk menambah jaringan pertemanan, seperti halnya Facebook serta twitter memiliki peran utama dalam hal perluasan jaringan komunikasi serta memiliki peran yang cukup kuat pula dalam hal publisitas. Bagi kelompok OPSG sendiri kedua situs tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk mencari relasi pertemanan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk memperkenalkan OPSG kepada khalayak umum secara lebih luas, selain itu jejaring sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana publikasi agenda-agenda kegiatan yang hendak dilakukan. Hubungan yang baik antara OPSG dengan almarhum Remmy Soetansyah contohnya, ialah salah satu relasi pertemanan yang didapatkan Anis melalui situs jejaring sosial twitter.
Cukup banyak kesempatan pentas yang didapatkan oleh OPSG berkat penggunaan media Facebook, diantaranya ialah 2009 silam ketika Bens Leo (pengamat musik Nasional) mengundang OPSG untuk menyajikan karya-karyanya di Bentara Budaya Jakarta. Pada awalnya Anis sama sekali tidak pernah bertemu dengan Bens secara langsung, hingga suatu ketika muncul keinginan Anis untuk mencoba menjalin interaksi dengan beliau. Melalui media Facebook Anis mulai menawarkan hubungan pertemanan dengan Bens, disinilah komunikasi diantara keduanya mulai terbangun. Bens mulai tertarik dengan Anis dan kelompok OPSG setelah melihat video mereka yang dilihatnya melalui link situs YouTube OPSG yang dikirimkan oleh Anis melalui Facebook.

E.3. OPSG dan Masyarakat Pati
Penggalian data yang telah dilakukan menggunakan pembagian daftar pertanyaan kepada masyarakat yang menghadiri acara “Suluk Maleman” telah dilakukan untuk memperoleh pandangan serta jawaban dari responden tentang Orkes Puisi Sampak GusUran. Pencarian data tersebut telah dilakukan sebanyak dua kali, dalam dua kali acara “Suluk Maleman. Melalui penyebaran daftar pertanyaan tersebut diketahui pula persebaran masyarakat penikmat OPSG, yakni dari berbagai ragam kalangan masyarakat. Maka, untuk mendapatkan gambaran lebih mendalam, kemudian dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan mengundang beberapa perwakilan penikmat kelompok OPSG serta acara “Suluk Maleman” tersebut yang notabene-nya terdiri dari berbagai jenis kalangan (santri, guru, musisi, perupa, mahasiswa, PNS). Sebagian dari hasil olahan data tersebut menunjukan kesamaan dengan pendapat Leah A. Lievrouw  dan Sonia Livingstone[31] mengenai regulary context yang digambarkan dalam tabel berikut:
Analogue Model
Digital Model
Scarcity and few player
Abundant players (branding)
One-to-many
Many-to-many
Distinctive sectors
Convergence sectors
Linear programming
Non-linear programming (on demand)
Mediated consumption  environtment
Disintermediation and individual consumption environtment
National boundaries
Transnational and global
Tabel 1. Regulatory ContextAnalogue Model” dan “Digital Model

Meski media internet banyak memberikan andil besar dalam eksistensi kelompok OPSG dalam pergulatan berkeseniannya pada kancah nasional serta internasional, ternyata tidak cukup banyak mempengaruhi pola apresiasi masyarakat pada tingkat lokal. Pada acara “Suluk Maleman” ini terlihat  pengaruh media internet sebagai media informatif bagi masyarakat terhadap Anis, OPSG, serta informasi adanya kegiatan yang diberlangsungkan oleh OPSG kurang begitu berperan dibandingkan dengan media-media lainnya. Melalui daftar pertanyaan yang dibagikan pada kedua acara “Suluk Maleman,” dengan tajuk “Jazz Kalimasada” pada tanggal 17 April 2013 dan “Jamus Kalimasada” pada tanggal 17 Mei 2013 diketahui bahwa lebih dari separuh pengunjung mendapatkan sumber informasi mengenai adanya kegiatan “Suluk Maleman” tersebut ialah melalui teman.
Daftar pertanyaan yang telah dibagikan menunjukan pula fakta bahwa kegiatan “Suluk Maleman” pun dapat menjadi ajang perkenalan bagi kelompok OPSG kepada masyarakat yang belum mengetahui keberadaan kelompok tersebut sebelumnya. Melalui rekapitulasi terhadap hasil pengisian daftar pertanyaan diketahui bahwa sumber informasi yang pertama kali diterima oleh masyarakat mengenai OPSG paling banyak ialah dari adanya acara “Suluk Maleman”, meskipun cukup banyak pula yang sudah mengetahui sebelumnya melalui pertemanan.
Kegiatan “Suluk Maleman” sebagai sebuah media promosi ternyata tidak hanya efektif bagi eksistensi kelompok OPSG, melainkan pula berdampak pada eksistensi Anis Sholeh Ba’Asyin. Melalui rekapitulasi pengisian daftar pertanyaan dapat diketahui bahwa sumber informasi yang pertama kali diterima oleh masyarakat mengenai Anis Sholeh Ba’Asyin selain banyak didapatkan melalui teman juga banyak didapatkan melalui adanya acara “Suluk Maleman.”  Pada dua kali pembagian daftar pertanyaan pada dua kali acara Suluk Maleman didapatkan fakta dengan kecenderungan yang sama mengenai sumber informasi yang paling banyak diterima masyarakat mengenai Anis ialah melalui acara “Suluk Maleman”,

F. PENUTUP
Studi ini menemukan bahwa media turut mempengaruhi persebaran suatu karya musik. Persebaran yang diakibatkan oleh penggunaan media internet sebagai salah satu produk budaya komunikasi modern memungkinkan sebuah karya dapat tersebar hingga ke berbagai penjuru dunia. Fakta tersebut menunjukan bahwa media komunikasi modern dapat menjadi salah satu latar terjadinya globalisasi, dalam hal ini ialah globalisasi dalam bentuk diseminasi (persebaran), seperti halnya apa yang telah terjadi dalam kelompok OPSG sebagai sampel pengamatan dalam studi kali ini. Tidak hanya tersebar, kelompok OPSG bahkan berhasil meraih berbagai award, serta berhasil mendapatkan kesempatan untuk melakukan berbagai pementasan serta menjalin kerjasama dalam ruang lingkup yang lebih besar, tidak hanya dalam lingkup nasional, bahkan internasional.
Semua media pada dasarnya bercampur secara hemafrodit.[32] Seperti halnya apa yang telah dilakukan oleh Anis beserta OPSG, ia telah mengalihwahanakan puisi menjadi musik, sekaligus mengalihwahanakan bunyi/musik menjadi aksara, melakukan puisi visual, melangsungkan pertunjukan, menggunakan muti-media, menggunakan kendaraan internet, serta berbagai hal lainnya. Di samping itu, proses yang dilalui OPSG turut menunjukan pula keberadaan berbagai media dalam satu media, menjelaskan bahwa konsep “media” tersebut sangatlah lentur. Contohnya ialah sajian pertunjukan, pertunjukan itu sendiri adalah media; di dalamnya kita mendapatkan juga berbagai jenis media seperti musik dan tulisan—dan bahkan juga film.[33] Sedangkan pertunjukan itu sendiri dapat diakses melalui situs internet, di mana notabene-nya situs internet itu sendiri merupakan sebuah media yang berbeda. Ataupun juga pertunjukan tersebut disajikan di dalam sebuah acara seperti halnya Suluk Maleman di mana kegiatan tersebut bukan hanya menyajikan seni pertunjukan, melainkan justru menyajikan diskusi budaya sebagai acara utamanya.
Setiap media memiliki sistem operasional, peran dan fungsi, serta efektifitasnya masing-masing. Melalui pengamatan terhadap kelompok OPSG dapat kita ketahui sebuah kesimpulan, yakni bahwa pemanfaatan media internet dengan berbagai fitur di dalamnya lebih cenderung memberikan dampak persebaran dalam skala besar, yakni meliputi skala nasional serta internasional, sedangkan untuk persebaran pada wilayah lokal, media konvensional yang bersifat manual masih cenderung lebih fungsional. Fakta seperti ini menunjukan pentingnya kepekaan serta pensiasatan yang tepat dalam pemanfaatan media menyesuaikan target persebaran yang diharapkan. 
Pemanfaatan media internet meliputi situs video sharing, seperti halnya YouTube, situs kompetisi musik seperti halnya GarageBand, MP3.com.au, situs download musik seperti halnya Beesonic, kemudian blogging, serta jejaring sosial yang telah dilakukan oleh kelompok OPSG telah memberikan berbagai dampak keuntungan bagi kelompok tersebut. Cukup banyak penayangan karya-karya OPSG, pengunduhan, komentar, interaksi, kerjasama, serta penghargaan yang telah didapatkan oleh OPSG melalui berbagai situs internet, banyak diantaranya justru dalam lingkup nasional serta internasional. Dalam lingkup lokal, terutama masyarakat Pati, media interaksi bagi kelompok OPSG terhadap masyarakat pendukungnya banyak dilakukan secara langsung, tanpa harus melalui sarana penggunaan media internet. Pengamatan terhadap kegiatan “Suluk Maleman”, menunjukan fakta bahwa acara yang rutin diselenggarakan,  seperti halnya acara “Suluk Maleman” tersebut menjadi media interaksi yang relevan bagi eksistensi kelompok OPSG terhadap masyarakat lokal, melingkupi daerah Pati dan sekitarnya. Berikut dalam hal persebaran informasi, bagi masyarakat lokal, penggunaan media konvensional yang bersifat langsung terbukti jauh lebih berperan daripada media intenet. Sebagai contoh ialah persebaran informasi mengenai acara “Suluk Maleman” bagi masyarakat lokal. Penggunaan media konvensional yang bersifat langsung, meliputi jaringan pertemanan, poster, serta baliho nampak terlihat lebih efektif. Tidak banyak masyarakat Pati yang mengetahui informasi mengenai diselenggarakannya kegiatan tersebut melalui internet.
Selain itu perlu diketahui pula, bahwa meski media dapat berfungsi sebagai sebuah alat persebaran, bukan berarti sebuah karya seni begitu saja kehilangan nilai-nilainya. Karya seni tetap bernilai, meski persepsi penilaian serta sisi ketertarikan yang ditimbulkan akan terus berubah. Anis beserta kelompok OPSG telah membuktikan, bahwa keberhasilan pengolahan terhadap kedua sisi tersebut, yakni pengolahan karya, serta pengolahan media sudah seharusnya diperhatikan secara seimbang, sehingga mampu menimbulkan efek yang optimal pula.
Studi ini pada dasarnya masih sangat terbatas dalam batasan kasus yang hanya meliputi satu kelompok saja, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dibuat masih bersifat sementara. Oleh karena itu, kiranya perlu dilakukan studi-studi lain tentang permasalahan serupa agar data-data yang diperoleh dapat digunakan untuk membuat generalisasi. Selanjutnya, studi-studi empiris tentang pengolahan media dalam persebaran karya musik masih perlu dilakukan dengan lebih komprehensif, agar berbagai permasalahan yang mendasari fenomena ini dapat dipahami dengan semakin mendalam.
























DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Tercetak:
Ayers, Michaelle D., ed. Cybersound: Essays on Virtual Music Culture. New York: Peter Lang Publishing. Inc. 2006.
Baily, John. Using Tests of Sound Perception in Fieldwork. Year Book of Traditional Musik 28, 147-73. 1996.
Barker Chris. Cultural Studies. Kreasi Wacana: Jogjakarta. 2009.
Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. 2003.
Barker Chris. Cultural Studies. Kreasi Wacana: Jogjakarta. 2009.
Bourdieau, Pierre. Distinction: A Sosial Critique of Judgmenet of Taste. London: Routledge. 1984.
Buchanan, Elizabeth A. “Deafening Silence: Musik and the Emerging Climate of Acces and Use” dalam Ayers, Michaelle D., ed. Cybersound: Essays on Virtual Music Culture. New York: Peter Lang Publishing. Inc. 2006.
Darmono, Sapardi Djoko. Alih Wahana. Jawa Barat: Editum. 2012.
Denzim, K. dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Jaya. 1981.
Giesler, Markus. “Cybernetic Gift Giving and Sosial Drama: A Netnography of the Napster File-Sharing Community” dalam Ayers, Michaelle D., ed. Cybersound: Essays on Virtual Music Culture. New York: Peter Lang Publishing. Inc. 2006.
Harjana, Suka. Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Ford Foundation dan MSPI. 2003.
Huda, Eko Nur. Cara Mudah Menjadi Populer dengan Internet. Yogyakarta: Andi. 2012.
Mack, Dieter. Sejarah Musik  Jilid III. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 1995.
            . Sejarah Musik Jilid IV. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 2009.
Merriam, Allan P. The Anthropology of Music. Chicago: North-western University Press. 1964.
            . “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya. 1995.
Nercessian, Andy. Posmodernisme dan Globalisasi dalam Etnomusikologi: Permasalahn Epistimologis. Terjemahan  Djohan. Yogyakarta: UPT Perpustidakaan ISI Yogyakarta. 2010.
Nettl, Bruno. The Study of Ethnomusicology: Thirty-one Issues and Con-cepts. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press. 2005.
_______. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press. 1964.
Post, Jenifer C. ed. Ethnomusicology: a Contemporary Reader. New York: Routledge. 2006.
Prier, Karl-Edmund Prier. Sejarah Musik Jilid II. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 1993.
_______. Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 2008.
_______. Kamus Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. 2009.
Rheingold, H. “A Slice of life in my virtual community”, dalam High Noon on the Electronic Frontier: conceptual issues in cyberspace. Cambridge: MIT Press. 1999.
Shohat, Ella dan Robert Stam. 1994. Unthinking Eurocentrism. Multiculturalism and the Media. London/New York: Routledge.
Smiers, Joost. 2009. Arts Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globasasi. Yogyakarta: Insist Press.

B. Sumber Tidak Tercetak:
1.                  Panji Masyarakat No. 427, 1 April 1984. Tahun XXV.
2.                  Panji Masyarakat No. 436, 1 Juli 1984. Tahun XXVI.
3.                  Panji Masyarakat No. 459, 21 Februari 1985. Tahun XXVI.
4.                  Koran Suara Merdeka, Semarang: Minggu Ini, halaman VIII, 22 Juli 1984.

C. Sumber Internet:
1.                  www.Garageband.com/sampak_gus_uran.
2.                  http://oase.kompas.com/read/2009/06/12/02173299/sampak.gusuran.membaca.puisi.dengan.cara.yang.berbeda. Diakses pada tanggal 20 Februari 2012.
3.                  http://www.unesa.ac.id/berita/201111080002/orkes-puisi-sampak-gusuran-ajak-peduli-untuk-bangsa.html. Diakses pada tanggal 20 Februari 2012.
4.                  http://immawati-sultana.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 18 April 2013.
5.                  http://indonesianperformance.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 18 April 2013.

D. Sumber berupa  Arsip:
1.                  Cover album Orkes Puisi Sampak GusUran: “Bersama Kita Gila: Wis Ngedan Isih ora Keduman” PT. HAN ABABIL Record. 2007.




[1]Pusat industri kesenian Indonesia beberapa diantaranya ialah Jakarta dan Bandung, berikut daerah lainnya yang identik sebagai kota kesenian ialah Yogyakarta dan Bali.
[2]http://oase.kompas.com/read/2009/06/12/02173299/sampak.gusuran.membaca.puisi.dengan.cara.yang.berbeda.
[3]Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Thirty-one Issues and Concepts. (Urbana dan Chicago: University of Illinois Press, 2005), 275;
Sebagai perbandingan untuk melihat kecenderungan ini, lihat juga, misalnya, lampiran dari salah satu karangan Alan P. Merriam, yang memuat sejumlah definisi etnomusikologi. Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para etnomusikolog ‘angkatan pertama’ ini umumnya menyatakan bahwa etnomusikologi merupakan studi terhadap budaya-budaya musik di luar budaya Eropa, atau, selain itu, budaya-budaya musik di luar kebudayaan peneliti (yakni kebudayaan Eropa). Namun belakangan, para etnomusikolog mulai merambah wilayah yang sebelumnya ‘tabu’ bagi mereka. Para etnomusikolog kini juga memasukkan fenomena kontemporer sebagai objek kajian mereka. Studi-studi etnomusikologi kini meliputi pula bentuk-bentuk kajian urban (urban studies).*
*Sebagai contoh mengenai bagaimana etnomusikologi mulai merambah bentuk-bentuk kajian Urban dapat dilihat dalam bunga rampai berjudul Ethnomusicology: a Contemporary Reader, ed. Jennifer C. Post (New York: Routledge, 2006).
[4]Allan P. Meriam, The Anthropology of Music (Chicago: North-western University Press, 1964), 109.
[5]Allan P. Meriam, 1964, 103.
[6]Allan P. Merriam, 1964, 32-33.
[7] John Baily, Using Tests of Sound Perception in Fieldwork. (Year Book of Traditional Musik, 1996), 147.
[8]Nercessian, 2010,  20.
[9]Chris Barker, Cultural Studies (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 30.
[10]Wawancara dengan Deddy Taufiq 8 April 2013.
[11]Wawancara dengan Yuli Agung, 9 April 2013.
[12]Wawancara Anis Sholeh Ba’asyin pada acara Dialog Development episode 48 yang diadakan oleh stasiun TV Qtv, dengan presenter Gigin Praginanto.
[13]Wawancara dengan Yuli Agung, 9 April 2013.
[14]Wawancara dengan Deddy Taufiq, 8 April 2013.
[15]Karl-Edmund Prier, Kamus Musik (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), 145.
[16]Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 196.
[17]Dieter Mack, Sejarah Musik Jilid IV (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), 379.
[18]Dieter Mack, Sejarah Musik  Jilid III (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1995), 46­-47.
[19]Karl-Edmund Prier, Sejarah Musik Jilid I (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2008), 24.
[20]Nercessian, 2010,  11.
[21]Nercessian, 2010,  12.
[22]www.Garageband.com/sampak_gus_uran.
[23]www.Garageband.com/sampak_gus_uran.
[24]www.Garageband.com/sampak_gus_uran.
[25]Wawancara dengan Nurdin, 6 April 2013.
[26]www.Garageband.com/sampak_gus_uran.
[27]Wawancara Anis Sholeh Ba’asyin pada acara Dialog Development episode 48 yang diadakan oleh stasiun TV Qtv, dengan presenter Gigin Praginanto.
[28]Pierre Bourdieau, Distinction: A Sosial Critique of Judgmenet of Taste. (London: Routledge, 1984), 101.
[29]H. Rheingold, “A Slice of life in my virtual community”, dalam High Noon on the Electronic Frontier: conceptual issues in cyberspace, (Cambridge: MIT Press), 414.
[30]Sistem penyimpanan data-data berupa arsip penting di dalam e-mail cukup banyak dilakukan pada jaman sekarang, karena mengingat sisi efisiensi serta keamanannya. Dari segi efisiensi, mengirimkan data berupa arsip-arsip penting ke dalam alamat e-mail kita sendiri memudahkan kita untuk mengaksesnya di manapun kita berada asalkan ada jaringan internet, kemudian dalam sisi keamanannya ialah relatif aman dari virus serta kerusakan data, karena data-data berupa file yang disimpan dalam sebuah drive berupa hard disk ataupun flash disk rentan terkontaminasi virus, begitupun bila file yang telah dipindahkan ke dalam arsip berupa cd ataupun dvd, masih ada kemungkinan kaset cd ataupun dvd tersebut tergores atupun pecah, sehingga data-data berupa file di dalamnya tidak dapat diakses kembali.
[31]Leah A. Lievrouw  dan Sonia Livingstone, 2002, 333.
[32]Sapardi Djoko Darmono, Alih Wahana (Jawa Barat: Editum, 2012), 2.
[33]Sapardi Djoko Darmono, 2012, 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sumonggo...

artinya: Selamat makan... *_*