Peran Etnomusikologi dalam
Mendorong Pemahaman
Multikulturalisme di Indonesia
Kebudayaan
adalah manifestasi dari nilai-nilai.
Ia
memiliki kekuatan membangun karakter sebuah bangsa,
Membangun
karakter manusia orang per-orang.
(Sambutan Dewan Kesenian Jakarta, Ratna
Sarumpaet, pada Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia. Papua, 22-27 Agustus
2005).
I.
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah sebuah Negara yang
sangat kaya akan sumber daya, dan menakjubkan. Salah satu kekayaan itu adalah
keberagaman seni dan budaya ‘asli’ Indonesia. Tiap etnis yang tersebar dari
sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang bermacam-macam dan khas. Dalam
bentuk konkretnya keberagaman tersebut nampak dari rumah-rumah adat, pakaian,
adat istiadat, tarian, musik, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Masyarakat
Etnis Sumatera memiliki kesenian yang berbeda dengan masyarakat etnis Papua,
begitu pula kesenian-kesenian tradisional lainnya yang ada di berbagai macam
kelompok etnis di Indonesia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Keberagaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia.
Keberagaman budaya
seperti ini merupakan kekhasan bangsa Indonesia, bila dibandingkan dengan
negara-negara lainnya, misalnya ialah Negara-negara di belahan benua Eropa yang
cenderung monokultural, seperti Inggris, Belanda Spanyol, dan sebagainya.
Indonesia sebagai Negara yang multikultural tentu saja memiliki permasalahan
serta penangannya tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan Negara
monokultural. Selama ini, pemahaman mengenai Indonesia sebagai Negara
multikultural masih kurang, terbukti dalam pendidikan formal yang berlaku di
berbagai instansi-instansi pendidikan di Indonesia masih menerapkan pendidikan
yang cenderung mengarahkan siswa-siswanya untuk memahami kebudayaan-kebudayaan
tertentu saja, seperti yang terjadi dalam pendidikan seni. Pendidikan seni di
Indonesia, seakan-akan mengacu pada satu standarisasi materi, sebagai contoh
ialah materi pembelajaran musik yang ditemui di buku-buku ajar yang isinya
cenderung mempelajari beberapa musik tertentu di Indonesia, khususnya musik
Jawa. Fenomena tersebut menyatakan secara tersirat terjadinya ‘kolonisasi
budaya’ atau timbulnya hegemoni budaya, seakan-akan budaya yang dimiliki oleh
Indonesia hanyalah ‘itu-itu saja’—Jawa. Coba bayangkan bilamana bahan ajar
tersebut digunakan di daerah-daerah lain di luar Jawa, sedangkan budaya-budaya
lainnya di luar Jawa—yang tentu saja masih banyak lagi—tidak diajarkan di Jawa.
Selain itu juga pembelajaran musik di Indonesia kebanyakan masih menggunakan
materi ajar ‘musik barat’, mengapa tidak musik-musik dari Indonesia yang
digunakan sebagai materi ajar?
Multikulturalisme yang
dimiliki oleh Indonesia pada dasarnya adalah kekuatan yang harus diperkuat dan
dipertahankan, namun di sisi lain juga menjadi kelemahan. Dengan adanya
multikulturalisme menuntut kita untuk lebih memahami akan pentingnya
keseimbangan serta keselarasan dalam kehidupan. Selain itu multikulturalisme
adalah suatu keindahan yang menawan, yang berpotensi menjadi daya tarik atau
meningkatkan ‘nilai jual’ Indonesia di mata dunia. Namun, multikulturalisme
bisa pula menjadi ancaman bagi integrasi bangsa Indonesia. Sekat-sekat rapuh
akibat kurangnya komunikasi antar budaya dapat dengan mudah menimbulkan
perpecahan. Efek yang ditumbulkan dari perpecahan tersebut sangatlah banyak,
baik runtuhnya perekonomian, goyahnya tatanan sosial, politik, pendidikan, dan
lain sebagainya. Oleh karenanya, sangatlah penting bagi seluruh bangsa
Indonesia memiliki kesadaran untuk memahami multikulturalisme.
Kesadaran mengenai
multikulturalisme bisa kita dapatkan melalui pembelajaran terhadap musik-musik
tradisi Nusantara. Musik merupakan salah satu unsur kebudayaan yang melekat
dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, musik dapat pula menjadi identitas
yang menunjukkan karakter suatu masyarakat.
Sebagai contoh, masyarakat A menempatkan musik dalam suatu kegiatan budaya
mereka dengan cara masyarakat A itu sendiri, sedangkan masyarakat B yang hidup
lingkungan B menunjukan perilaku musik yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat A.
Hal ini bisa saja terjadi karena dalam lingkungan-lingkungan etnik ini, adat,
atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku, mempunyai
wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah-bangkitnya suatu kesenian—dalam
hal ini musik[1].
Jadi, kelompok etnik yang berbeda akan melahirkan atau memunculkan
bentuk-bentuk kesenian (musik) yang berbeda pula. Pembelajaran terhadap suatu
tradisi musik mampu mendorong pemahaman terhadap suatu kebudayaan. Pembelajaran
musik memiliki arti penting untuk mencapai pemahaman multikulturalisme di
Indonesia, dengan mempelajari berbagai musik tradisi Nusantara dapat membantu
meningkatkan pemahaman terhadap berbagai kebudayaan di Indonesia.
Salah satu bidang ilmu
yang dapat digunakan untuk mendorong pemahaman terhadap multikulturalisme ialah
etnomusikologi. Etnomusikologi menekankan arti pentingnya pemahaman suatu
kebudayaan lewat musik. Bidang etnomusikologi di Indonesia seharusnya memiliki
peran yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan seperti yang tersebut di
atas, namun sepertinya hal ini kurang disadari. Oleh karena itu, kita perlu
memahami peran musik dan bidang etnomusikologi dalam menghadapi permasalahan
multikulturalisme di Indonesia.
Berdasarkan studi
pustaka mengenai data-data terkait permasalahan bidang etnomusikologi yang
meliputi tetang apa itu etnomusikologi serta bagaimana prinsipnya; dihubungkan
dengan data-data terkait multikulturalisme, bagaimana multikulturalisme di
Indonesia, mengapa multikulturalisme perlu dipahami dalam konteks
keindonesiaan, serta bagaimana musik dapat digunakan sebagai medium untuk
mendorong pemahaman multikulturalisme; kemudian diperlengkap dengan pengalaman
empirik penulis sebagai praktisi studi etnomusikologi yang dipaparkan dalam makalah
ini, kita akan mencoba mengkupas lebih dalam mengenai bagaimana musik dapat
digunakan sebagai medium untuk mendorong pemahaman multikulturalisme, serta bagaimana
peran etnomusikologi digunakan untuk menghadapi permasalahan multikulturalisme
di Indonesia?
II.
TINJAUAN UMUM
1.
Memahami Multikulturalisme
Multikultural
berarti beraneka ragam kebudayaan, menurut Parsudi Suparlan[2]
akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Dalam konteks ini
kebudayaan dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Konsep
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Etika Multikulturalisme adalah
konsep yang mampu mengartikulasikan dimensi
aksiologis kebenaran kultural dengan
tidak “membunuh” pluralitas kultural.[3]
Artinya, keberagaman di Indonesia seharusnya dikedepankan tanpa menghilangkan
nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing kebudayaan.
Konsekuensi kemajemukan budaya pada dasarnya
merupakan bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Oleh karenanya,
puralitas menjadi suatu kodrat dari kehidupan yang tidak
mungkin ditiadakan. Manusia
dilahirkan di dunia ini dengan beragam bentuk, dengan berbagai macam warna
kulit, berbagai ragam bahasa, serta suku bangsa—yang mana bukanlah hak manusia
untuk meminta dalam wujud seperti apa dia dilahirkan. Kesadaran akan hal
tersebut, yakni kesadaran budaya,
yang berupa penghargaan atas kemajemukan budaya,
merupakan poin utama dalam pebelajaran multikulturalisme. Dalam konsep
multikulturalisme tersirat pula arti pentingnya pemahaman akan relativisme
budaya, yakni bahwa dalam mempelajari atau menilai sebuah kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan kita (pengamat, penilai, atau peneliti), harus
diusahakan agar kita tidak terpengaruh oleh prakonsepsi kebudayaan kita sendiri.[4]
2.
Bagaimana Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia adalah Negara yang sangat kaya. Salah
satu kekayaan tersebut ialah kekayaan budaya Indonesia yang tersebar dari
Sabang sampai merauke, secara Etnik, Indonesia terdapat 358 suku bangsa san 200
sub suku bangsa. Kondisi geografis di Indonesia yang terdiri dari berbagai
kepulauan—yakni terdiri atas 13.667 pulau baik yang dihuni maupun yang
tidak—menyebabkan kurangnya interaksi
antarbudaya, hal ini bisa jadi merupakan satu alasan lain yang menjadi
penguat timbulnya keberagaman di Indonesia—selain faktor keturunan/ras/suku
bangsa. Kondisi tersebut di atas menyebabkan Indonesia memiliki multi bahasa,
pada tiap-tiap daerah di Indonesia berkembang bahasa daerah yang
bermacam-macam. Begitupun dalam hal agama di Indonesia juga memiliki tingkat
kemajemukan yang sangat tinggi, yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara yang
multi agama, yakni terdapat beberapa agama (yang
diakui pemerintah) dan dipeluk
oleh penduduk Indonesia yakni: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik
7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1%,
serta tidak menutup kemungkinan ialah adanya agama lain yang dipercayai oleh
pengikutnya, namun belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Dalam
bidang mata pencaharian Indonesia pun dapat dikatakan multi mata pencaharian,
yakni terdiri dari masyarakat petani, nelayan, hingga pegawai kantoran.
Selanjutnya ialah dalam bidang kesenian, Indonesia juga kaya akan kesenian,
baik dalam bentuk karya seni rupa, drama, tari, maupun musik.
Sebagai salah satu contoh
keberagaman budaya di Indonesia dapat dilihat dari contoh sebagai berikut:
Provinsi Sumatera Utara ialah salah satu provinsi dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia, terdiri dari 10 Kabupaten dan 4 kota, dengan luas wilayah 8.701.742
Ha (87.017,42 Km2), jumlah penduduk sebanyak 6 jutaan jiwa, dimana
masing-masing daerah memiliki suku, bahasa, adat istiadat, dan kesenian yang
beragam.[5] Contoh lain ialah provinsi
Papua, dihuni oleh lebih dari 250 suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok
pedalaman Papua. Masing-masing memiliki bahasa, sistem kekarabatan, sistem
kepercayaan, serta pandangan hidup yang berlainan. demikian pula dengan legenda
dan unsur-unsur seni dan adat budayanya.[6] Menurut Index of Irian Jaya Languages, yang
disusun SIL (Summer Institute of
Linguistics), terdidentifikasikan bahwa di daerah Papua terdapat 224 bahasa
lokal yang golongan bahasanya dapat diklasifikasikan menjadi 31 kelompok
bahasa, yaitu tobati, kwime, sewan, kauwerawet, ambai, puwi, turu, wondama,
roon, hatam, mimika, arfak, karon, kapaur, wusiran, mee / ekari, moni, pasehem,
ingkipulu, telifomin, awin, mandobo, auyu, sohur, boasi, jab, komoron, klader,
jenan, serli, dani. Contoh-contoh di atas merupakan suatu gambaran dari
sebagian kecil kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dari segi
multi bahasa, jika dari satu provinsi saja—dalam contoh ialah provinsi
Papua—teridentifikasikan terdapat 31 bahasa daerah, bisa dibayangkan betapa
banyaknya bahasa daerah yang ada di seluruh provinsi di Indonesia, yakni
meliputi 33 provinsi—sungguh luar biasa kayanya.
Berdasarkan fakta-fakta
yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fakta sosial bangsa Indonesia
yang tak dapat dipungkiri ialah keberagaman budayanya. Setiap individu di
negeri ini hidup dalam lingkungan suku, agama, tradisi, dan bahasa yang
berbeda-beda dan secara geografis terletak saling berjauhan. Keberagaman budaya
menjadi karakter yang khas dengan nilai-nilai khas yang luhur dan menumbuhkan
rasa bangga. Sayang sekali dalam realitasnya, kebanggaan terhadap kekayaan
bangsa tidak cukup dihargai dan kurang disikapi sebagaimana mestinya.
3. Multikulturalisme Penting Dipahami dalam Konteks
Keindonesiaan
Indonesia dapat diibaratkan sebagai ‘kembang
setaman’, yakni bagaikan suatu taman yang berisikan banyak bunga. Indonesia
memiliki beragam suku bangsa, latar belakang agama, latar belakang kultural, yang secara fisik dipisahkan oleh wilayah geografis yang berbeda.
Kemajemukan semacam ini, selain menjadi kekayaan tersendiri, juga dapat menjadi
kerapuhan bagi bangsa Indonesia.
Pemahaman multikulturalisme, bila ditempatkan
dengan porsi yang tepat, dapat menanamkan rasa saling memiliki antar-budaya,
sehingga memungkinkan semakin kuatnya rasa persatuan, menciptakan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang harmonis serta saling bersinergi antara satu
dengan yang lainnya. Namun, tanpa dibarengi dengan pemahaman multikulturalisme,
kemajemukan dapat memunculkan berbagai persoalan sosial. Akhir-akhir ini, intensitas dan
ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat.
Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang
di antara anggota masyarakat.
Konflik
sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena
masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain
jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu
yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis. Sebagai
contoh, banyak terjadi konflik sosial seputar ras, agama, serta golongan; Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, konflik
Sampit dan Madura, bentrokan antara masyarakat Bugis yang ada di Papua, konflik
agama di Palu, konflik Tidung dan Bugis yang baru-baru ini terjadi, kasus
perselisihan agama antara Ahmadiyah dan oposisinya, pembakaran rumah-rumah
ibadah yang dilakukan oleh umat beargama dengan umat beragama lainnya,
munculnya rasa permusuhan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang
memuncak pada tahuan 1998, dan berbagai
kasus lainnya. Layaknya peribahasa yang mengatakan “lidi yag banyak dan bersatu
susah untuk dipatahkan, namun lidi yang terpisah satu persatu sangat mudah
untuk dipatahkan”, konflik sosial berbau SARA seperti ini tidak bisa dianggap
remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan
disintergrasi nasional. Permasalahan-permasalahan seperti ini
sebetulnya sangatlah kompleks, karena di dalam permasalahan-permasalahan
tersebut tidak hanya dilatarbelakangi kasus perbedaan dan dominasi kultural,
namun juga diperparah dengan kepentingan politik, serta rasa kecemburuan sosial
dan ekonomi. Penanganan masalah-masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan
dengan satu pendekatan saja, namun membutuhkan multi pendekatan. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan ialah dengan menggunakan pendekatan budaya,
yakni dengan cara menanamkan pemahaman multikulturalisme. Dalam pemahaman
multikulturalisme, relativisme budaya merupakan bagian yang terpenting.
Kesadaran relativisme budaya antara
lain bisa didapatkan melalui pengalaman budaya, misalnya dengan cara memperkaya
apresisasi terhadap kesenian—mengapresiasi kesenian dapat mempertajam kepekaan,
memperhalus rasa dan menanamkan rasa berempati.
III.
ANALISIS
1. Pembelajaran
musik sebagai medium
untuk mendorong pemahaman multikulturalisme
Salah satu bentuk seni pertunjukan
Indonesia adalah adalah musik, yang kita sebut sebagai musik tradisional
Indonesia. Musik tradisional yang lahir dan berkembang dalam etnis-etnis asli
di Indonesia merupakan sebuah hasil kebudayaan yang dihadirkan tidak hanya
untuk dinikmati atau sebagai hiburan semata-mata. Kesenian merupakan salah satu
bagian dalam kehidupan masyarakat, dan selalu memiliki andil dalam aspek sosial
dan budaya masyarakat setempat. Hal ini selaras dengan pernyataan Alan P.
Meriam bahwa salah satu fungsi musik adalah sebagai ekspresi emosional,[7]
Musik tradisional di Indonesia
berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik
yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan-lingkungan etnik ini, adat atau
kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan rebah bangkit-nya kesenian.[8] Persoalan
paling mendesak dan krusial yang dihadapi masyarakat dan komunitas etnis saat
ini adalah derasnya pengaruh budaya asing yang terjadi seiring dengan pesatnya kemajuan
teknologi informasi. Akan tetapi, masalah yang lebih substansial sesungguhnya
adalah semakin pudarnya kesadaran generasi muda di Indonesia untuk mengerti dan
memahami budaya yang dimiliki.
Kebudayaan sebagai
sebuah proses dalam perjalanannya selalu tumbuh dan berkembang. Kebudayaan
dengan berbagai unsurnya juga bersifat adaptif dan dinamis, karena kebudayaan
melengkapi manusia dengan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan mereka, baik penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis
maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan
tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok
masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut
dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami (konsep relativisme
budaya).
Berkaitan dengan
kesenian dalam konteks sosial dan budaya, maka tidak dapat dipisahkan antara musik
tradisional dengan unsur-unsur yang melingkupinya, melainkan satu dan yang
lainnya saling berkaitan, membentuk sebuah sistem. Ini mengisyaratkan bahwa
musik memiliki hubung kait yang sangat erat dengan kehidupan budaya suatu
masyarakat. Oleh karenanya, dengan mempelajari musik suatu budaya, maka kita
dapat pula memahami kebudayaan secara umum dalam masyarakat tersebut. Melalui
pembelajaran musik di luar budaya kita sendiri, diharapkan mampu merangsang
tumbuhnya kesadaran mengenai relativisme budaya, yakni menuntun kita bagaimana
melihat suatu budaya—dalam hal ini musik—tidak hanya berdasarkan pandangan
kebudayaan sendiri, melainkan melihat dari sudut pandang budaya lain tersebut
bagaimana mereka melihat musik yang mereka miliki.
Pembelajaran musik
nusantara dapat dilakukan dengan mengacu pada teori multikulturalisme yang
dikembangkan oleh Volk yang diadaptasi oleh Ki Hajar Dewantara. Kerangka
berpikir dinamik tersebut dapat dipahami melalui model berikut:
Irian
|
Malaysia
|
Sulawesi
|
Jawa
|
Kalimantan
|
Sumatra
|
Fungsi Lagu
Guru musik dan seni
lainnya Perkusi Tekstur
Harmoni Wanita dan
musik Skala Pemain
Notasi Melodi Stem
Nilai Nyanyian Irama
Pencipta Bentuk Timbre
Teks
|
Eropa
|
Amerika
|
Australia
|
China
|
Bali
|
NTT
|
Filiphina
|
Jepang
|
India
|
“Pendidikan Musik Multikultural”
Konsep pendidikan Musik
Multikultural Ki Hajar Dewantara
Diadaptasikan Dengan Konsep Volk (Sumber: Nurhayati[9]).
Ki Hajar Dewantara mengadaptasikan konsep
dinamik multikulturalisme Volk disesuaikan dalm konsep baru yang sesuai dengan
kondisi di Indonesia, di dalam konsep tersebut menawarkan bagaimana pendidikan
musik bisa digunakan sebagai alternatif pembelajaran multikultural yang disebut
dengan “Pendidikan Musik Multikultural”, yang berisi materi-materi lebih dari
satu perspektif kultural.
Menurut Nurhayati[10]
konsep tersebut dapat dimaknai menjadi beberapa bagian. Pertama, mengarahkan pendidikan
musik multikultural menuju pendidikan humanistik, yaitu pemikiran
praktis untuk pemahaman diri melalui cara ‘memahami yang lain’. Selama ini
sepertinya pendidikan musik belum mencapai tujuan tersebut di atas. Hal ini
terlihat dari berbagai bahan ajar pendidikan musik yang hanya mencakup beberapa
budaya musik tertentu. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam buku “Kreasi Seni”
untuk kelas X SMA terbitan Ganeca.[11]
Jika kita cermati, dalam buku tersebut sebenarnya sudah terlihat upaya untuk
menuju kepada pembelajaran musik multikulturalisme, namun masih belum cukup
mewakili berbagai musik yang ada di Indonesia. Bahasan mengenai musik Jawa
terlihat masih mendapatkan porsi yang cenderung lebih banyak, jika dibandingkan
dengan materi untuk musik-musik nusantara lainnya. Ironisnya, materi ajar musik
Barat yang bukan musik tradisi nusantara justru mendapatkan porsi yang jauh
lebih banyak; bahkan bila dibandingkan materi ajar musik jawa. Hal ini dapat
terjadi karena dua kemungkinan, yakni karena memang disengaja seperti itu, atau
karena memang sumber yang dimiliki baru mencakup materi sejauh itu saja.
Bilamana permasalahannya ada pada alasan kedua, berarti pengumpulan data-data
terkait materi ajar musik nusantara perlu ditingkatkan atau diperkaya.
Materi ajar yang disampaikan kepada siswa pada
dasarnya berlandaskan pada suatu kurikulum pendidikan. Artinya, biarpun materi
ajar sudah ada (sudah diperkaya), namun kurikulum yang sudah ditetapkan tidak
mencakup hal tersebut, maka materi ajar tetap saja tidak bisa diimplementasikan. Selain itu, tidak dapat terealisasikannya
pembelajaran musik multikulturalisme hingga sekarang ini, mungkin saja
dikarenakan kurang memahaminya penulis materi ajar terhadap kurikulum yang
sudah diberlakukan. Jika permasalahan terletak pada alasan kurikulum yang
berlaku, maka solusi yang harus dilakukan ialah bagaimana para penentu
kurikulum seharusnya lebih banyak melakukan evaluasi serta pembenahan.
Kedua, mengembangkan pengajaran musik dari
perspektif multikultural yang dimulai dari implementasi musik berbagai budaya
di dalam kelas sampai pada perhatian terhadap wawasan dunia serta kebutuhan
mempelajari berbagai budaya musik.[12]
Konsep tersebut dapat direalisasikan dengan cara memberikan materi ajar musik
berbagai budaya secara berurutan—dari yang paling dekat dengan lingkungan
kebudayaan siswa hingga pada wilayah budaya yang jauh—kepada para siswa yang
menempuh pendidikan, dari tingkatan pendidikan usia dini hingga perguruan
tinggi. Ki Hajar Dewantara, dalam praktik pendidikan semacam ini, membagi ruang
lingkup pembelajaran ke dalam tiga tahapan; yang pertama ialah taman anak (masa
wiraga 1-7 tahun). Dalam tahapan pertama ini, pembelajaran
pengenalan multikulturalisme diarahkan kepada berbagai budaya musik yang paling
dekat dengan lingkungan budaya di mana si anak tinggal. Sebagai contoh, pada
taman anak di pulau Jawa diperkenalkan dengan budaya-budaya daerah yang ada di
sekitar pulau Jawa, yakni meliputi Jateng, Jatim, Surabaya, Yogyakarta,
Surakarta, Semarang, dll. Materi yang diajarkan dalam tahapan ini ialah materi
yang sederhana, namun memberikan pesan-pesan moral, seperti halnya lagu-lagu
anak yang berasal dari permainan anak.
Tahapan yang kedua ialah taman muda (masa
wiraga-wirama 7-14 tahun). Dalam tahapan ini, materi ajar yang diberikan lebih
diperluas cakupannya, yakni meliputi berbagai budaya daerah yang ada di
Nusantara—Kalimantan, Bali, Malaysia, Jabar, Sumatra, Sulawesi, dll. Tahapan
yang terakhir ialah taman dewasa (masa wirarama 14-21 tahun). Dalam
tahapan ini materi yang diajarkan sangat luas, mencakup budaya-budaya musik
yang ada pada tingkat global, yakni budaya-budaya musik yang ada di
negara-negara lain, sebagai contoh Cina, Jepang, India, Belanda, Jerman,
Amerika, dll.
Melihat urutan seperti tersebut di atas,
terlihat bahwa siswa mulai dibiasakan dengan keberagaman sejak usia dini hingga
ia dewasa. Siswa dididik untuk mempelajari berbagai budaya, dari hal terkecil
yang dekat dengan kehidupan sehari-sehari, hingga keberagaman dengan
kompleksitas yang paling tinggi, yakni pada tingkat global. Dengan demikian,
selain dapat memperkaya wawasan dunia, pembelajaran dengan model tersebut
dimaksudkan agar siswa mampu menempatkan dirinya di antara berbagai kebudayaan,
menanamkan rasa kebanggaan terhadap kekayaan bangsa, serta menumbuhkan
toleransi terhadap budaya lain sebagai cerminan dari sikap relativisme budaya.
Terakhir, Nurhayati[13]
menyatakan bahwa selain dapat digunakan untuk mendorong pemahaman
multikulturaisme, pendidikan musik nusantara juga dapat digunakan untuk memahami
konsep musikal dari budaya lain untuk memberikan sumber-sumber improvisasi dan
penciptaan yang lebih luas. Dalam menciptakan karya seni, tentu saja tidak
lepas dari apa yang disebut dengan pengalaman estetis. Pengalaman estetis dalam
pendidikan musik multikulturalisme dapat dicapai dengan cara membiasakan diri
peserta didik untuk lebih terbuka serta toleran akan bunyi-bunyi baru melalui
beragam musik yang berbeda. Pada akhirnya, ini dapat meningkatkan wawasan
musikal yang lebih luas, serta menjadi rangsangan untuk menciptakan karya-karya
yang inovatif.
2. Etnomusikologi dan Multikulturalisme di Indonesia
Bidang ilmu yang selama ini kita kenal dengan
‘etnomusikologi’ sebelum tahun 1950 dikenal dengan sebutan ‘musikologi
komparatif’. Dalam perkembangannya Istilah musikologi komparatif dianggap
kurang tepat, karena pada kenyataannya para pelaku bidang tersebut tidak
membuat komparasi seperti yang dilakukan oleh orang lain, dan bahwa komparasi
tersebut tidak tepat dan membahayakan.[14]
Di samping itu,
istilah baru tersebut—etnomusikologi—mempunyai keunggulan untuk mengungkapkan
keberadaan bidang studi dan konsep-konsep atau cita-cita para sarjana,
‘etnomusikologi’ dianggap lebih tepat dan lebih deskriptif dalam membuat rumusan
tentang disipin dan bidang penyelidikannya daripada istilah lama ‘musikologi
komparatif’.[15]
Objek studi dalam etnomusikologi ialah
seluruh musik di dunia, dengan
menekankan kepada musik di luar budayanya sendiri, dari pandangan deskriptif
dan komparatif. Oleh karenanya, dalam melakukan kerja etnomusikologi, sangat
penting ditekankan kepada para etnomusikolog melihat suatu kebudayaan dari
sudut pandang budaya itu sendiri (relativisme budaya). Merriam menyebutnya
dengan “studi tentang musik di dalam konteks budaya”.[16]
Kebudayaan yang meliputi keseluruhan
kompleks pengetahuan, keyakinan, seni (termasuk musik), moral, hukum,
adat-istiadat, dan semua tindakan lain yang dilakukan oleh manusia, terangkai
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa
musik tidak bisa lepas dari konteks kemasyarakatannya, seperti yang diungkapkan
oleh Kunst sebagai berikut, “semua orang, dari kebudayaan apapun, pasti
menempatkan musik mereka dalam konteks totalitas keyakinan-keyakinan, pengalaman-pengalaman,
serta aktivitas mereka, yang tanpa ikatan-ikatan ini, musik tidak akan eksis”.[17]
Bidang etnomusikologi dapat digunakan
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan multikulturalisme di Indonesia.
Pemecahan-pemecahan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama
ialah mengkontribusikan prinsip etnomusikologi, yakni sikap
relativisme budaya, dalam pembelajaran musik. Pembelajaran musik yang
didasarkan pada prinsip tersebut dilakukan dengan cara memberikan
pemahaman-pemahaman bahwa musik yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Kedua
ialah hasil kerja para etnomusikolog, yakni berupa pencatatan-pencatatan
tentang berbagai budaya musik, khususnya budaya musik di Indonesia. Hasil-hasil
pencatatan tersebut dapat digunakan sebagai dokumentasi keragaman budaya,
sehingga budaya-budaya musik tersebut pada akhirnya dapat terus dipertahankan.
Selain itu, hasil tersebut dapat pula digunakan untuk melengkapi materi ajar
pembelajaran musik. Ketiga ialah dilihat dari bidang ilmu etnomusikologi itu
sendiri, yang mana sejak awal bidang ini dipelajari pada dasarnya ialah memang
digunakan untuk melakukan konservasi terhadap berbagai budaya musik. Selain
itu, dengan mengadopsi berbagai macam disiplin bantu, bidang etnomusikologi
semakin memperkuat analisisnya, sehingga bidang ini menjadi cukup relevan
digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan budaya. Namun, tentu saja
musik merupakan titik tolak utama dalam kinerja etnomusikologi—hal ini untuk
membedakan bidang etnomusikologi dengan bidang sosial maupun humaniora yang
lainnya.
Bila kita tilik kembali,
hasil studi para sarjana etnomusikologi Indonesia sejauh ini sudah cukup
banyak. Bidang
etnomusikologi dapat ditemui sebagai jurusan di sejumlah perguruan tinggi,
antara lain di Universitas Sumatera Utara, Institut Seni Indonesia Yogyakarta,
Institut Seni Insonesia Surakarta, Universitas Pelita Harapan, dan Institut
Kesenian Jakarta. Selain itu, pembelajaran etnomusikologi juga dapat dijumpai
dalam kurikulum pembelajaran di beberapa sekolah tinggi seni dan universitas
pendidikan yang memiliki jurusan kesenian yang ada di Indonesia sebagai mata
kuliah, misalnya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan Universitas
Negeri Yogyakarta.
ISI Yogyakarta sebagai
salah satu lembaga yang menaungi bidang kajian etnomusikologi yang berada di
Indonesia, selama ini sudah menghasilkan begitu banyak hasil pendokumentasian
mengenai musik-musik yang ada di Nusantara kususnya di Indonesia. Hal tersebut
terbukti dari berbagai skripsi mahasiswa etnomusikologi yang begitu banyak, telah
mencakup—ataupun setidaknya mewakili—semua etnisitas atau suku bangsa yang ada
di Nusantara.
Berikut ialah sebuah
gambaran hasil penelitian sarjana etnomusikologi Indonesia[18]:
…Formasi ansambel musik dalam
sebuah pertunjukan Yospan tidaklah baku, terutama dari jumlah instrumen.
Kendatipun demikian, sejauh pengamatan yang dilakukan, susunan instrumen yang
harus ada—membentuk formasi standar—adalah gitar, ukulele, tifa dan stembass (juga lazim disebut stringbass). Dalam perkembangannya,
instrumen-instrumen tambahan mulai dimasukkan, antara lain mamurang (sejenis kentongan bambu), kelambut (sejenis lesung), dan suling (suling horizontal). Hal ini
mengindikasikan bahwa musik dalam Yospan telah mengalami perubahan pada aspek
internalnya.
Instrumen
gitar dan ukulele yang digunakan dalam
Yospan adalah gitar dan ukulele pada
umumnya. Dalam formasi musik Yospan, gitar dan ukulele berfungsi memainkan rhythm, bukan melodi. Selain itu, jumlah
kedua jenis instrumen pun tidak memiliki ketetapan yang baku. Jumlah ini
bisanya sangat tergantung pada jumlah pemain yang ada, serta juga kebutuhan
akan pementasan. Instrumen lain dalam formasi ansambel musik Yospan umum
disebut dengan stembass. Ini
merupakan instrumen chordophone dengan
ukuran terbesar dalam ansambel musik Yospan. Dengan ukuran ruang resonansinya
yang besar, tidak mengherankan apabila instrumen ini memiliki suara yang paling
rendah dalam formasi ansambel ini. Instrumen ini memiliki dua utas dawai yang
terbuat dari nilon. Steman dawainya berturut-turut dari yang kecil ke yang
besar adalah A-D, pada papan pencetnya (fingerboard)
tidak menggunakan fret (fretless). Untuk memainkan, bass diletakkan
dengan posisi tidur di atas lantai, sehingga pemainnya berada dalam posisi jongkok.
Pemain bass biasanya menggunakan sarung tangan pada tangan yang memainkan
nada-nada pada papan pencet. Umumnya stembass
dimainkan dengan cara dipetik langsung dengan menggunakan jari, meskipun
terkadang juga dimainkan dengan cara dipukul—senarnya—dengan menggunakan
sebatang kayu yang berdiameter kira-kira sebesar jari telunjuk. Instrumen
lainnya, tifa, merupakan instrumen musik khas Papua yang umumnya tersebar di
wilayah-wilayah pesisir Papua. Instrumen ini termasuk dalam golongan instrumen membranophone.
Tifa berbentuk seperti jam pasir (hourglass), yaitu mengecil pada
bagian tengahnya. Membran tifa terbuat dari kulit soa-soa, salah satu jenis hewan reptil yang umum hidup di daratan
Papua.
Lagu-lagu dalam Yospan sambung-menyambung
dari awal hingga akhir, membentuk sebuah medley.
Syair-syairnya berbahasa Indonesia (khusus untuk mengiringi gerak Yosim), dan
lagu dengan syair berbahasa daerah Papua (untuk mengiringi selain gerak Yosim).
Lagu-lagu ini terdiri dari berbagai tempo dan meter. Umumnya lagu dalam
kesenian Yosim Pancar bertemakan ungkapan kasih sayang, percintaan, kehidupan
sehari-hari, keindahan alam, dan lain sebagainya, dan hal ini terkait erat
dengan Yospan sebagai seni pergaulan…
Notasi 9. Transkripsi lagu Aro
Mamae dari Waropen
(Transkripsi: Nathalian H.P.D.P.)
Catatan ringkas di atas merupakan sebuah
gambaran mengenai salah satu musik tradisi Identitas daerah Irian Jaya (Papua),
yang disebut dengan Yospan (Yosim Pancar). Melalui bukti pendokumentasian di
atas, dapat kita ketahui bahwa terdapat musik tradisi di Papua yang memiliki ciri
khas tersendiri bilamana dibandingkan dengan musik-musik tradisi pada daerah
lain di Nusantara. Berdasarkan adanya informasi dari hasil pendokumentasian tersebut,
maka dapat dilakukanlah konsep “pendidikan musik multikultural Ki Hajar
Dewantara” pada tahap pertama, yakni tahapan taman anak (masa wiraga 1-7
tahun). Pendidikan musik di wilayah Papua dapat dilakukan dengan materi ajar
berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, sebagai pembelajaran pengenalan
multikulturalisme paling awal, dengan diarahkan kepada pengenalan berbagai
budaya musik yang paling dekat dengan lingkungan budaya di mana si anak
tinggal. Selain itu, informasi tentang musik Yospan (Papua) juga
dapat mendukung dilakukannya konsep “pendidikan musik multikultural Ki Hajar
Dewantara” pada tahapan kedua, yakni tahapan taman muda (masa wiraga-wirama
7-14 tahun). Dalam pendidikan musik di wilayah Jawa misalnya, musik Yospan dapat
diajarkan, karena pada tahapan ini, materi ajar yang diberikan meliputi
berbagai budaya daerah yang ada di Nusantara. Begitu pula pada wilayah Papua dapat
diajarkan tentang musik Jawa, tentu saja setelah tahapan “taman anak”. Selain
contoh di atas masih banyak lagi contoh kajian tentang musik nusantara baik
berupa skripsi, maupun makalah, serta catatan-catatan yang telah dikerjakan
oleh para etnomusikolog dan calon-calon etnomusikolog Indonesia lainnya yang
bisa digunakan sebagai sumber informasi, sehingga untuk ke depannya
pembelajaran musik di Indonesia tak hanya berorientasi pada pengenalan musik Jawa
dan musik Barat saja, namun dapat mencakup semua etnis di Indonesia—atau paling
tidak mewakili, sehingga pembelajaran musik untuk mendorong pemahaman
multikulturalisme di Indonesia dapat direalisasikan. Salah satu contoh
aplikasinya dapat kita lihat dalam bahan ajar Pendidikan Seni Musik IA untuk
SMK terbitan LP2IP Gadjah mada, Yogyakarta, buku tersebut merupakan sebuah
bahan ajar karya kolaborasi musikolog dan etnomusikolog. Bahan ajar tersebut
diciptakan dengan mengacu pada prinsip pendidikan musik multikultural oleh Ki
Hajar Dewantara, yakni tahapan yang terakhir taman dewasa (masa
wirarama 14-21 tahun), dalam buku tersebut materi yang diajarkan
sangat luas, mencakup budaya-budaya musik yang ada pada tingkat global, yakni
budaya-budaya musik yang ada di negara-negara lain, sebagai contoh Cina,
Jepang, India, Belanda, Jerman, Amerika, dll, bahkan dalam buku tersebut tidak
hanya berisi bahasan secara deskriptif, melainkan mencakup pula masalah
identifikasi musik, latar belakangnya, fungsi musik, tujuan pemntasan musik,
hingga manfaat musik dalam kehidupan sehari-hari. Bahan ajar seperti ini layak
untuk diapresiasi, serta sangat diharapkan mampu menjadi acuan bahan-bahan ajar
yang lainnya.[19]
Penggunaan Studi etnomusikologi sebagai
acuan yang melatarbelakangi pendidikan musik di Indonesia dirasa sangatlah
tepat, menimbang berbagai alasan sebagai berikut, yakni prinsip-prinsip dalam
etnomusikologi yang mampu menekan primodialisme, serta memperkuat sikap
relativisme budaya; dilihat dari fleksibilitasnya, yakni tidak terikat pada
suatu budaya musik tertentu yang menjadikan pembelajaran musik menjadi
cenderung kaku; keterbukaannya akan berbagai bidang ilmu lainnya; apalagi
melihat adanya banyak sumber informasi yang sudah dihasilkan oleh para sarjana
etnomusikologi Indonesia, hal tersebut sangat layak dan penting untuk
direalisasikan.
IV.
KESIMPULAN
Etnomusikologi sebagai suatu bidang ilmu yang mengkaji musik dalam
konteks kebudayaan mengedapankan pentingnya pembelajaran musik berbagai budaya
untuk membangun sikap relativisme budaya. Di dalamnya terkandung makna bahwa
melalui medium musik dapat digunakan untuk mempelajari budaya dalam suatu masyarakat.
Di Indonesia sendiri, musik tersebar dimana-mana seperti halnya masyarakat
pemilik musik tersebut yang tersebar di berbagai macam wilayah budaya, sehingga
dengan sendirinya musik pun menjadi beraneka ragam pula, layaknya peribahasa
‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Oleh sebab itu dengan mempelajari berbagai
macam musik, secara tidak langsung kita telah belajar mengenali
multikulturalisme, karena di dalam berbagai musik tersebut mengandung esensi
dari multikultur, yakni keberagaman. Selanjutnya, yang paling penting ialah
dengan cara mempelajari berbagai macam musik mampu menumbuhkan rasa kedekatan
kita dengan berbagai macam budaya, sehingga mampu menimbulkan toleransi, rasa
saling memiliki, saling menghargai, dengan demikian memunculkan kesadaran
pemahaman arti penting multikulturalisme, yakni tak hanya beragam (majemuk),
namun bagaimana dapat menumbuhkan semangat kebersamaan dalam keberagaman
membangun Kebhineka tunggal ika-an Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Charis, Ahmad. 2003. “Membangun
Kesadaran Etika Multikulturaisme di Indonesia.” Jurnal Filsafat Vol. 34, No. 2: 11-126.
Kaplan, David & Robert A.
Manner. 2002. Teori Budaya. Terj.
Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartono, dkk. 2007. Kreasi Seni dan Budaya untuk SMA kelas X.
Jakarta: Ganeca.
Krader, Barbara. 1995.
“Etnomusikologi,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi.
Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mansoben, Josh. 2005. “Posisi Kesenian
dalam Pembangunan Nasional Problematika di Provinsi Papua,” Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua.
Merriam, Allan P. 1964.
The Anthropology of Music. Chicago: North-western University Press.
. 1995.
“Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah
Pandangan Historis-Teoritis,” dalam
R. Supanggah, ed. Etnomusikologi.
Trans. Rizaldi Siagian & Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Nettl, Bruno. 2005. The Study of Ethnomusicology: Thyrty-one
Issues and Concept. Urbana & Chicago University of Illinois Press.
Nurhayati, Diah
Uswatun. 2011. “Gagasan Multikulturalisme Ki hajar Dewantara Dalam Pendidikan
Musik Tamansiswa Yogyakarta”. Makalah
diseminarkan dalam Progress II Program
Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Makalah tidak diterbitkan.
Oesman, Syahrial. 2005.
“Kebijakan Pemerintah dan kemitraan Dewan Kesenian Sumatera Selatan dalam
Pembinaan dan Pembangunan Seni Budaya di Sumatera Selatan, ” Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua.
Prasetyo, Ayub & Nathalian H. P. D. Putra. 2008. Pendidikan
Seni Musik IA untuk SMK.
Yogyajarta: LP2IP Gadjah mada.
Putra, Nathalian Hasta Panca Dwi. 2009. “Kontinuitas
dan Perubahan Musik: Kehidupan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musik di
Papua” makalah diajukan dalam mata kuliah Teori Seni Program Studi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta. Makalah tidak diterbitkan.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan
Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
. 1984. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi.
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural. http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm.
Diakses tanggal 2 Juni 2011.
[1]Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta:
Sinar Harapan, 1981), p. 52.
[2]Parsudi
Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural (http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm,
2002), p. 100.
[3]Ahmad Charis, “Membangun Kesadaran
Etika Multikulturaisme di Indonesia.” Dalam Jurnal
Filsafat (Vol. 34, No. 2: 11-126, 2003), p. 117.
[4]David Kaplan Robert A. Manner, Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 8.
[5]Syahrial Oesman, “Kebijakan
Pemerintah dan kemitraan Dewan Kesenian Sumatera Selatan dalam Pembinaan dan
Pembangunan Seni Budaya di Sumatera Selatan,” katalog Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua, 2005, p. 13.
[6]Josh
Mansoben, “Posisi
Kesenian dalam Pembangunan Nasional Problematika di Provinsi Papua,” katalog Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia: Seni Untuk Semua, 2005, p. 30.
[7]Allan P. Merriam, The
Anthropology of Music (Chicago:
North-western University Press, 1964), p. 218.
[8] Edi Sedyawati, Loc.cit.
[9]Diah Uswatun Nurhayati, “Gagasan
Multikulturalisme Ki hajar Dewantara Dalam Pendidikan Musik Tamansiswa
Yogyakarta” makalah diseminarkan
dalam Progress II Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni
Indonesia Yogyakarta. 2011, p. 16.
[11]Kartono, dkk. Kreasi Seni dan Budaya untuk SMA kelas X (Jakarta: Ganeca, 2007).
[12]Diah Uswatun Nurhayati, Loc.cit.
[13]Ibid.
[14]Allan
P. Merriam, “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan
‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis,” dalam R. Supanggah, ed. Etnomusikologi. Trans. Rizaldi Siagian
& Santosa. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), p. 48.
[16]Ibid., p. 52.
[17]Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Thyrty-one Issues and Concept (Urbana
& Chicago University of Illinois Press, 2005), p. 3.
[18]Nathalian
Hasta Panca Dwi Putra, “Kontinuitas dan Perubahan Musik: Kehidupan, Interaksi
Budaya dan PerkembanganMusik di Papua”, makalah diajukan dalam mata
kuliah Teori Seni Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI
Yogyakarta.. 2009, p.20-21.
[19]Ayub Prasetyo dan Nathalian H. P.
D. Putra, Pendidikan Seni Musik IA untuk SMK, terbitan LP2IP Gadjah mada,
Yogyakarta